Skip to main content

Arung Jeram Telaga Waja


Hari masih pagi. Saya menunggu Vonny Fransisca "Onie", Safri Mursalin "Sapi", dan Anatoli Marbun "Bolenk" di depan sebuah warung di dekat Perempatan Tohpati, Denpasar.  Kami semua adalah anggota Astacala. Yang kebetulan dengan berbagai keperluan ada di Bali. Beberapa hari sebelumnya, kami membentuk grup Whats App yang isinya kami berempat. Namanya ARB, Astacala Regional Bali. Untuk memudahkan komunikasi sementara waktu. Karena kami semua sepakat mau jalan ke alam di akhir pekan.

Yang ditunggu pun tiba. Lengkap berempat. Ditambah seorang sopir sewaan Onie yang mengantar. Kami mau arung jeram ke Sungai Telaga Waja, di Karangasem. Sebelumnya, kami sempat mau camping di Pinggan, Kintamani. Mau hunting foto matahari terbit. Tapi niat itu kami urungkan dan diganti dengan arung jeram saja.

Singkat cerita, kami tiba di Desa Muncan. Ini adalah tempat start pengarungan. Onie yang membawa GoPro mulai mendokumentasikan kegiatan ini. Kami melakukan sedikit pemanasan. Tak lupa dengan safety procedure yang selalu diwanti-wanti jika kami berkegiatan di Astacala. Usai sarapan roti dan teh hangat, kami pun turun ke sungai. Angin Utara, Kawah Asa, Air, dan Kabut Fajar. Itu nama-nama angkatan kami di Astacala, seperti yang ditanyakan Onie saat merekam video. Bli Wayan, dari Bali Tubbing & Rafting menjadi pemandu. Beberapa aba-aba perahu dan teknik mendayung dijelaskan oleh Bli Wayan. Siap, Bli!

Telaga Waja adalah sungai yang berhulu di kaki Gunung Agung. Mengalir dari utara ke selatan. Bermuara di Selat Badung di Desa Jumpai, Klungkung. Tetapi pengarungan kali ini adalah sampai di Desa Tangkup, Karangasem. Tepat bebeberapa puluh meter sebelum pertemuan Sungai Telaga Waja dan Sungai Yeh Unda.

Pengarungan pun dimulai. Beberapa wisatawan asing yang berarung jeram juga melintas. Kami santai saja. Di kilometer pertama, air mengalir tenang seperti telaga. Rumput dan semak-semak ikut terendam air. Bahkan beberapa pohon besar seperti kelapa dan pisang. Semuanya tumbuh di jalur aliran sungai ini. Sementara di beberapa sisi lain, bebatuan dan pasir bertumpuk. Ini semua terjadi karena perubahan yang disebabkan oleh erupsi Gunung Agung beberapa bulan sebelumnya. Aliran pasir dan lumpur merusak sungai sehingga air mencari jalannya sendiri. Maka tak heran jika saya melihat pepohonan dan rumput di tengah sungai.

Sepuluh menit kemudian, perahu mulai memasuki sungai utama. Jeram-jeram mulai banyak. Debit air cukup besar. Beberapa pohon yang miring atau tumbang melintang menjadi penghalang alami. Ditambah hujan mulai turun. Cukup seru. Setelah melewati satu jeram, jeram berikutnya ada lagi. Bahkan ada yang jeramnya panjang. Rasanya jeram-jeram yang ada di sungai ini sangat banyak. Sambung-menyambung tak ada istirahat. Sangat berbeda dengan Sungai Ayung, sungai lain tempat arung jeram yang lebih terkenal di Bali.

Di satu titik, kami harus berhenti. Ada bendungan yang tak bisa dilewati. Sebenarnya bisa, tapi tak layak. Hanya perahu saja yang dilewatkan melalui celah bendungan yang jebol. Membentuk lorong dengan air terjun dua meteran. Deras dan berbahaya. Kami menuruni jeram dengan berjalan kaki. Menuruni jembatan kayu menuju ke arah perahu. Cukup banyak wusatawan yang berarung jeram hingga membentuk antrian ketika melanjutkan pengarungan kembali dari bendungan ini.

Perjalanan berlanjut. Hujan masih turun. Kali ini bebatuan banyak. Menyembul menyisakan sedikit jalur untuk dilalui perahu. Ini cukup membuat perahu kani terjebak wrap. Kami semua turun untuk mendorong perahu supaya bisa melaju lagi.

Pemandangan sepanjang perjalanan sungguh cantik. Hutan dan ladang yang hijau di kanan dan kiri sungai. Di beberapa tempat yang datar juga ada sawah. Tebing-tebing tinggi menjulang dengan akar-akar pohon menjuntai. Air bergemericik dari atas membentuk air terjun di dinding-dinding tebing, berbaur dengan riuhnya jeram. Suara burung dan tonggeret bersahutan. Angin berdesir. Langit berwarna kelabu. Hujan masih terus turun.

Saya tak mengira bahwa kondisi alam dari lembah seperti ini sungguh menawan. Padahal saya tahu, di atas sana sudah banyak pemukiman penduduk. Juga jalan-jalan setapak yang bisa dilalui motor atau mobil. Tapi dari bawah, saya seperti berada di negeri antah berantah. Apalagi cuaca seperti ini. Mendung dan berkabut.

Oh iya, di sepanjang sungai ada pipa air besar dari karet berwarna hitam. Saya tak memperhatikan sejak dari mana pipa ini ada. Seingat saya, saya baru melihatnya ketika kami mendorong perahu saat perahu wrap sebelumnya. Pipa ini mengalirkan air sungai ke atas. Sepertinya milik PDAM setempat. Mungkin PDAM Klungkung. Karena setahu saya, air PDAM Klungkung bersumber dari sungai ini.

Sekitar dua jam melakukan pengarungan sungai, kami berhenti untuk beristirahat. Kata Bli Wayan, lokasi beristirahat kami ada di wilayah Desa Pesaban. Wisatawan lain juga berhenti di tempat ini. Ada sebuah gubuk yang menjual berbagai jenis minuman ringan. Ada juga bir. Tapi saya tak berbelanja. Saya mengeluarkan botol tumbler yang saya bawa dari rumah. Isinya teh hangat. Basah, dingin, dan hujan. Minum teh hangat di tepi sungai sungguh mantap.

Oke. Cukup dua puluh menit beristirahat. Kalau terlalu lama malah menggigil kedinginan. Perjalanan kami lanjutkan. Menjelang perbatasan Karangasem dan Klungkung, kami menemui bendungan lagi. Lokasi tepatnya ada di sekitar perbatasan Desa Pesaban, Rendang dan Desa Gembalan, Klungkung. Berbeda dengan bendungan sebelumnya yang tak bisa dilewati, bendungan kali ini bisa. Turunan airnya yang miring membentuk perosotan dengan panjang sekitar lima meter. Kami melewatinya dengan gembira. Byuuur...

Selepas bendungan, jeram-jeram sungai mulai sedikit bersahabat. Lebar sungai juag mulai bertambah. Sungai setelah bendungan ini adalah batas alami antara dua kabupaten di Bali. Sebelah timur adalah Kabupatrn Karangasem. Sebelah barat adalah Kabupaten Klungkung. Hujan mulai reda. Tepi sungai masih menghijau. Di sebuah batu besar di tengah sungai, berdiri pelinggih atau pura yang anggun. Seorang petani terlihat sedang mencari rumput tak jauh dari pura itu.

GoPro Onie sudah kehabisan baterai. Tak ada dokumentasi lagi. Bli Wayan kami minta menepi. Ada standing wave yang panjang dan tak begitu besar. Kami renang jeram di sana. Bolak-balik beberapa kali. Seru juga. Renang jeram adalah teknik berenang di sungai yang berjeram. Mengikuti arah arus dan berusaha untuk mengarah ke tepian. Teknik ini bermanfaat bagi penggiat arung jeram jika terjatuh dari perahu.

Selepas tengah hari, kami tiba di Desa Tangkup. Titik finish pengarungan. Sebuah jembatan melintang tak jauh di atas kami. Jembatan ini menghubungkan Desa Tangkup di Karangasem dengan Desa Tegak di Klungkung. Batas dua kabupaten. Saya menghela nafas panjang. Usai sudah pengarungan sungai ini. Saya sebenarnya berharap pengarungan bisa dilanjutkan sampai ke Kali Unda di Kota Klungkung. Tapi operator yang kami sewa hanya beroperasi sampai di sini saja.

Usai mandi, bersih-bersih, dan makan siang; kami pun pulang. Kembali ke Denpasar. []

Denpasar, Agustus 2018

Comments