Skip to main content

Lulus SMA (Part 1 : Suatu Pagi)

Di pagi yang dingin dan masih sepi, berangsur-angsur mulai ramai menandakan kehidupan mulai tampak di Ekasma, SMA di mana Gejor dan teman-temannya melakukan kegiatan gradag-grudug setiap harinya. Terlihat anak-anak kelas 3 berkerumun di sekitar lapangan sekolah. Hari itu adalah hari pengumuman lulus ujian anak-anak kelas 3. Sekumpulan burung yang asyik tidur dalam sarangnya di atap-atap aula berhamburan terbang karena kaget mendengar sorak-sorai anak-anak yang menunggu kepastian diri mereka lulus atau tidak.

Setelah melaksanakan doa bersama, anak-anak kelas 3 mendapatkan amplop, satu demi satu diberikan oleh wali kelasnya masing-masing. Amplop itu isinya surat. Dan surat itu sudah pasti isinya pengumuman kelulusan. Mereka semua tegang setegang-tegangnya membuka amplop dan membaca isi surat, seperti mendapatkan jawaban dari surat cinta yang pertama. Jantung dag dig dug tak karuan. Mereka tegang karena pada hari-hari sebelumnya terdengar isu bahwa jumlah siswa yang tidak lulus ujian adalah  seratus persen. Mustahil ya? Tapi isu itu ternyata memang nggak benar. Mereka semua lulus. Dan setelah tahu bahwa mereka sudah lulus, mereka girang bukan main. Ada yang bersorak-sorak, ada yang melonjak-lonjak kegirangan, ada yang meloncat-loncat seperti kodok. Bahkan ada yang jungkir balik sampai pusing tujuh keliling. Pokoknya saat itu semuanya menjadi gila. Wuih... Terlalu berlebihan. Hihihi...

Gejor yang tahu bahwa dirinya juga lulus mengekspresikan diri meloncat ke udara dan berteriak lantang “AKU LULUUUUUSSS.....!!!” sampai slekak-slekek. Lalu sambil menari-nari kegirangan ia lari keliling lapangan sekolah. Diikuti kemudian oleh Doglo, Pituh, Gung Erick, dan Lompank.

Tiba-tiba ada sebuah suara dari pengeras suara. Dan setelah didengarkan, ternyata itu adalah suara Bapak Mujiarta yang mau berpidato akan keberhasilan siswa-siswinya, yang sudah lulus menjalani pendidikan selama tiga tahun di Ekasma. Anak-anak pun menjadi bosan dengan pidato Bapak Mujiarta. Sebagian besar tak ada yang peduli pada pidato itu. Mereka memang bandel semua. Anak-anak itu lebih senang ngerumpi membentuk kelompok-kelompok kecil. Setelah beberapa lama berpidato ria, Bapak Mujiarta mengumumkan agar semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing untuk menandatangani ijazah. Maka semua siswa pun berbondong-bondong masuk kelas. Anak-anak yang usai lari pun juga ikut masuk kelasnya masing-masing dengan ngos-ngosan. Masuk kelas masih lari-lari juga. Dan sewaktu di kelas, malah masih diisi lari di tempat segala.



Sewaktu Gejor mau menandatangani ijazahnya. Ia terbelalak kaget plus gembira. Ternyata hasil ujiannya gede. Bahkan lebih gede dari badan Si Doglo. Dan yang pasti lebih gede dari yang lebih kecil. Tentu saja dengan hasil seperti itu kegirangan Gejor makin menjadi-jadi. Kemudian Bapak Agung yang menjadi wali kelas dipeluk dan diciumnya. Ih...!!! 

“Pak, bagaimana kalo saya menyanyi di depan Bapak untuk mengungkapkan kegembiraan saya? Boleh kan Pak? Boleh kan?” tanya Gejor penuh semangat.

Belum sempat Bapak Agung menjawab, Gejor sudah meneriakkan lagunya dengan lantang. Lagunya Sorak Sorak Bergembira yang dinyanyikannya dengan semangat 45. 

Alhasil, karena suara Gejor seperti ember pecah, otomatis teman-temannya dan Bapak Agung menutup kuping. Tak kuat mendengarkan nyanyian Gejor yang mungkin bisa mengalahkan nyanyian Michael Jackson atau pun Ebiet G. Ade.

Eh, tapi nggak semuanya yang menutup kuping. Doglo dan Pituh yang berbeda kelas dengan Gejor ternyata mendukung. Mereka bela-belain setengah mati datang dari kelasnya untuk memberikan dukungan. Diambilnya ember serta panci dari kantin untuk dijadikan alat musik. Dipukul-pukul dengan riang gembira mengiringi nyanyian Gejor. 

“Pak dung pak dung jreng... Pak dung pak dung jreng...”, begitu iramanya berdendang. 

Wah...!!! Teman-teman mereka muntah semua. Bahkan Bapak Agung sampai pingsan. Akibatnya, penandatanganan ijazah pun ditunda. []

Kisah cerita ini adalah fiksi. 
Jika ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu hanyalah kebetulan belaka. 

Bandung, Desember 2001

Comments