Skip to main content

Lima Buku dalam Hidupku #1

Minggu pertama tahun 2014 ini, sepertinya boleh jadi akan saya awali dengan menulis kisah tentang buku yang berpengaruh dalam hidup saya. Sebenarnya, saya pernah ingin menuangkan tulisan-tulisan tentang buku ini ke dalam sebuah blog tersendiri. Tapi sepertinya tak apa jika saya tulis di sini saja.

Lima Buku dalam Hidupku
Berawal dari sebuah linimasa #5bukudalamhidupku di bulan November 2013 lalu, tentang tawaran Irwan Bajang, seorang editor Indie Book Corner di Jogja yang mengajak para pecinta buku untuk menuliskan lima buku yang berpengaruh dalam hidup, sekaligus mengajak kembali pulang ke blog sendiri. Maka saya menjadi ikut tertarik untuk menuliskan tentang beberapa buku saya.

Memang, ajakannya sudah lewat beberapa bulan silam. Pun tulisannya adalah satu artikel per buku, bukan dua buku dalam satu artikel seperti yang saya tulis ini. Tapi apa salahnya jika saya menuliskannya sekarang, minimal untuk saya sendiri. Sebagai arsip saya pribadi, sejarah kecil tentang buku saya yang tak penting bagi kebanyakan orang. Tapi minimal catatan ini bisa ikut berbagi kisah kepada siapa pun yang iseng mampir atau tersesat di blog saya ini. 

Saya sedikit termenung membaca ajakan mudik ke blog dan menuliskan lima buku yang berpengaruh. Pertama, termenung karena memikirkan blog yang dulu menjadi tren tapi sekarang banyak dilupakan. Kenapa dilupakan? Lihat saja, sekian banyak blog teman yang saya tahu, hanya satu dua dari mereka yang masih terlihat setia menulis dan membagikan pengalamannya. Tren ngeblog sepertinya makin kalah pamor dengan tren jejaring sosial. Menurut saya, alasannya cukup jelas : jejaring sosial begitu riuh ramai dengan orang yang berinteraksi, serta gampang tanpa susah payah keluar banyak energi menuangkan buah pikiran. Sebut saja facebook dan twitter, sekali tulis status, maka sekali tekan tombol pembacanya bisa langsung menyatakan suka, dan belasan teman lain bisa ikut berbaur berkomentar atau berdiskusi di dalamnya.

Hal kedua yang membuat saya termenung adalah tentang buku berpengaruh dalam hidup. Nah, ini sangat menarik. Saya pikir, semua orang yang jadi kutu buku pasti memilikinya. Beberapa mili detik setelah membaca ajakan menuliskan buku yang berpengaruh, pikiran saya langsung melayang ke beberapa buku yang sampai sekarang tetap membekas dalam ingatan. Kemudian, beberapa majalah anak-anak dengan tokoh-tokoh idola di dalamnya langsung berlompatan dalam memori memanggil-manggil untuk bermain dan mengajak kembali bernostalgia. Mereka seperti tak lekang oleh waktu walau buku-buku lain yang jauh lebih penting bagi dunia berserakan mempengaruhi cara berpikir di kemudian hari.

Buku yang berpengaruh pada diri saya yang akan saya tuliskan kali ini adalah bacaan semasa kecil. Biasanya hal yang mempengaruhi bukan pada buku atau majalah itu secara langsung, tapi lebih kepada tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Dan seiring beranjaknya usia, barulah kisah-kisah yang disampaikan dari buku itu yang cenderung lebih saya renungkan.

* * *

Dan baiklah, sekarang akan saya tuliskan satu per satu buku-buku saya tersebut.  

Lupus Kecil : Sunatan Masal

Jika ada peribahasa berbunyi : "Sudah jatuh tertimpa tangga pula", kalian pasti tahu artinya. Tapi jika peribahasa ini dilontarkan oleh Lupus, maka pertanyaannya akan menjadi lain. Yaitu : "Berapa bijikah benjol yang ada di kepala orang yang tertimpa tangga itu?"

Itulah salah satu nukilan yang tertulis di sampul belakang buku yang saya baca dua puluh tahun silam. Sudah sangat lama. Menarik dan menghibur.

Lupus Kecil : Sunatan Masal (Gambar Diunduh dari GPU)
Dulu, waktu SD, saya sering tidur di rumah kakek, rumah bersejarah yang kini tak ada lagi. Bibi saya, adik sepupu ayah saat itu mungkin beberapa tahun sebelumnya telah lulus SMA dan baru menikah. Secara tak sengaja, sebuah buku peninggalannya saya temukan di atas lemari baju. Buku yang sepertinya sudah disimpan lama dan sudah tak dibaca lagi. Yang menarik, gambar sampulnya adalah gambar seorang bocah lelaki kecil bersarung dan membawa sapu. Sepertinya sebuah buku yang bagus, begitu pikir saya. 

Saya buka pertama kali, ternyata ada sebuah catatan dari seseorang yang memberikan buku tersebut. Sebuah catatan lucu berisi ucapan selamat ulang tahun. Ternyata buku ini adalah sebuah hadiah. Halaman demi halaman saya baca sampai selesai. Dan kemudian membacanya berulang-ulang kali karena saya senang dengan kisah-kisah di dalamnya. Saat itu, usia Lupus yang diceritakan dalam buku itu tak jauh berbeda dengan saya. Si Lupus kecil ini menjadi benar-benar hidup di pikiran. 

Maka tak heran kemudian saya seolah-olah menjadi Lupus saat itu. Saya berlagak bahwa sayalah Lupus dalam kehidupan saya. Di sekolah, saya jadi suka main tebak-tebakan. Di rumah, saya jadi bersikap hemat karena melihat kehidupan di rumah Lupus dan ajaran Papinya yang pelit. Intinya, saya 'demam' Lupus. Demam gara-gara penemuan sebuah novel anak-anak yang zaman itu jarang ada. 

Bagi generasi yang lahir di akhir 1970-an dan di awal 1980-an pasti sangat familiar dengan tokoh Lupus ini. Seorang anak muda dengan rambutnya yang berjambul dan suka membuat balon dari permen karetnya. Tapi bukan Lupus yang sudah jadi anak muda ini yang diceritakan dalam Lupus Kecil Sunatan Masal. Seperti nama serinya, Lupus Kecil, yang diceritakan adalah Lupus dalam versi anak kecil, yaitu Lupus yang masih berseragam sekolah dasar dan belum doyan permen karet. Diceritakan pula tokoh-tokoh lain di rumah Lupus seperti Papi, Mami, dan Lulu; serta teman-temannya seperti Pepno, Uwi, dan Iko Iko.

Sunatan Masal ini adalah seri kedua dari Lupus Kecil yang terbit pertama kali tahun 1990, karangan Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon. Salah satu cerita pertamanya dari sepuluh cerita lainnya di buku ini adalah tentang sunatan masal yang digelar oleh ibu-ibu di perumahan Lupus. Lupus yang mencuri dengar bahwa dirinya akan disunat menjadi takut dan pontang-panting mencari berbagai cara supaya sunatan masal itu gagal. Unik dan menggelitik. Setelah itu, sambung menyambung cerita lainnya mengisahkan kehidupan Lupus sehari-hari. Hampir di setiap bagian jalan cerita dibubuhi dengan bumbu-bumbu konyol.

Jauh hari kemudian, ketika saya SMA, ada Lupus baru versi dewasa yang terbit dan terkenal. Sebuah trilogi yang terdiri dari Boys Don't Cry, Bunga untuk Poppi, dan Candellight Dinner. Selain itu, seri trilogi itu juga dijadikan sinetron remaja di salah satu televisi swasta. Saya ingat benar, beberapa teman SMA saya memiliki buku ini dan menjadikannya barang pinjaman dari satu tangan ke tangan lain. Hampir semua teman SMA saya pasti tahu cerita trilogi Lupus ini.

Karena Lupus jadi booming saat itu, saya di kemudian hari malah menuliskan kisah saya sendiri yang mana saya menjadi Lupus sebagai tokoh utamanya. Beberapa cerita saya bak seorang Lupus ini pernah saya tuliskan di blog friendster saya dulu, blog pertama yang saya miliki. Karena friendster sudah mati, maka tulisan saya itu tak ada lagi di dunia maya yang bernama internet ini, tapi tentu saja masih tersimpan rapi dalam arsip di sebuah hardisk bukan buatan Indonesia. Membacanya kembali membuat saya tertawa sendiri.

Beberapa Koleksi Lupus
Sampai kemudian di masa sekarang ini, hampir semua seri Lupus sudah saya miliki dan berjajar rapi di perpustakaan pribadi saya. Salah seorang pedagang buku bekas di kawasan Blok M Jakarta begitu gembira ketika seluruh Lupus yang ada di lapaknya saya borong. Harganya murah meriah jika dibandingkan dengan harga cetakan baru sekarang ini di toko-toko buku besar utama. Walaupun saya tak membaca seluruh kisahnya dari buku-bukunya yang saya beli itu, tapi keponakan saya di rumah ikut keranjingan dan melahap habis puluhan buku Lupus tersebut. Tiap kali pulang ke Klungkung Bali, pasti ditanya "Ada Lupus lagi nggak Om?". Ia sumringah ketika beberapa seri Lupus lain saya sodorkan lagi. Kadang, jika tak ada lagi Lupus, buku lain yang dipinjamnya. Ternyata, virus membaca mulai menular kepadanya.

Dan satu yang pasti, dari puluhan buku Lupus yang ada itu, seri Lupus Kecil Sunatan Masal lah yang paling melegenda bagi saya.

Majalah Donal Bebek

Yang kedua adalah Donal Bebek. Memang ini adalah sebuah majalah, tapi bukankah majalah juga termasuk sebuah buku? Buku atau bukan, yang pasti ia saya anggap sebagai buku dan berpengaruh pada hidup saya. Pun juga bukan salah satu edisi majalah saja yang menjadi bahasan. Tapi karena secara umum Donal Bebek ini membawa cukup pengaruh pada diri saya, jadi saya tulis saja. Jadi, maaf kalau menyimpang dari aturan #5bukudalamhidupku itu. Bukankah saya menuliskannya sekarang juga sudah keluar aturannya? Hehehe...

Majalah Donal Bebek (Gambar Diunduh dari Kaskus)
Donal Bebek adalah majalah mingguan. Waktu saya SD, ia terbit dan datang ke rumah setiap hari rabu. Majalah ini datang bersamaan dengan majalah Siswa, majalah yang kemudian tak terbit lagi dan digantikan oleh Bobo yang tetap konsisten terbit sampai sekarang. Saya selalu menantikan hari rabu untuk bisa tenggelam dalam berbagai cerita majalah mingguan tersebut.

Dibandingkan dengan Siswa atau Bobo, memang Donal Bebek lah yang lebih saya gemari. Tapi ayah saya suka marah karena saya lebih menyukai Donal Bebek ini. Donal Bebek dianggapnya hanya komik dan tak mendidik. Ia malah pernah menyarankan supaya berhenti berlangganan majalah tipis warna-warni ini. 

Hampir sebagian besar orang di dunia ini bisa dipastikan kenal dan tahu yang namanya Donal. Tokoh kartun bebek berpakaian kelasi yang selalu sial ini memang sudah menjadi ikon Disney dan cukup terkenal dibandingkan dengan tokoh-tokoh kartun lainnya. Entah itu kenal dari majalahnya, dari film kartunnya, atau pun dari bonekanya.

Kwak, Kwik, dan Kwek (Gambar Diunduh dari Catawiki)
Dari semua tokoh yang ada, para keponakan Donal yang menjadi idola saya : Kwak, Kwik, dan Kwek. Mereka adalah tiga bocah bebek yang aktif sebagai pramuka siaga di Kota Bebek, kota tempat tokoh-tokoh ini menjalani kehidupannya sehari-hari. Petualangan-petualangan mereka begitu memikat. Dari cerita pendek mereka tentang latihan baris-berbaris bersama pembina pramuka dan teman-temannya; ikut mencari harta karun bersama Paman Gober, paman mereka yang kaya raya; mempertahankan gudang uang Paman Gober dari serangan para penjahat seperti Gerombolan Si Berat atau Mimi Hitam; mendaki gunung dan tebing, menjelajah hutan, menyusuri gua, atau mengarungi sungai dan lautan demi melakukan misi-misi penyelamatan; maupun tentang kehidupan sehari-hari mereka yang nakal layaknya anak kecil.

Berbagai kisah Kwak Kwik Kwek bagi saya penuh nilai-nilai keteladanan. Mungkin karena merekalah saya menjadi anggota pramuka dan pecinta alam. 

* * *

Oke, dua buku cukup dulu. Seperti kata Irwan Bajang, mungkin buku di atas bukan buku peraih nobel atau buku biografi orang hebat. Walaupun buku itu adalah dongeng masa kecil, pemberian mantan pacar, atau stensilan yang dibeli di pojokan terminal, yang pasti buku itu membekas dan memberi nilai baru bagi saya.

Sekarang baru dua buku, esok atau beberapa hari ke depan, tiga buku penting lainnya akan saya coba ingat kembali untuk dituliskan. Lumayan juga. Selain mengenang akan pengaruhnya, dengan membahas buku ini saya memang diajak kembali mudik ke blog sendiri, pulang ke rumah yang sunyi. Di luar, hiruk pikuk kota besar yang bernama jejaring sosial pasti masih ramai. Tapi menikmati suasana rumah sendiri di desa yang bernama blog ini pasti selalu menyenangkan. []

Jakarta, Januari 2014

Comments