Skip to main content

Meniti Arus Balik Majapahit di Gunung Lawu

Seperti disebutkan oleh Serat Pararaton, di zaman kala bendu menjelang akhir abad XV ketika masa pemerintahan Prabu Brawijaya V di Majapahit, disebutkanlah saat itu keluarga sang prabu mengalami loro lopo atau penderitaan akibat pemberontakan serta perebutan kekuasaan oleh putra-putranya, di mana salah satu putranya adalah Raden Patah yang di kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan Demak. Kerajaan-kerajaan kecil nusantara satu per satu telah melepaskan diri dari naungan Majapahit yang kejayaannya mulai memudar. Maka kemudian Prabu Brawijaya V yang semakin terjepit dan menanggung kekalahan mengasingkan diri bersama abdi dalemnya Sabda Palon dan Naya Genggong di Gunung Lawu.

* * *

Gunung Lawu

Semenjak saya mulai beranjak dari Kota Surakarta menuju Tawangmangu, awan tipis samar-samar terlihat berarak di lereng-lereng Gunung Lawu. Sementara senyum ramah para pedagang menemani saya ketika berbelanja memenuhi logistik di pasar Tawangmangu serta kemudian canda tawa anak-anak sekolah di dalam minibus menuju Pos Pendakian Cemoro Sewu menambah semangat saya untuk mendaki gunung itu selama dua hari ke depan.

Siang itu, jarum jam belum lagi menunjukkan pukul dua belas. Saya yang hanya berdua dengan Astaka menghampiri warung makan di kawasan Cemoro Sewu untuk makan siang sesaat sebelum hendak memulai perjalanan mendaki. Beberapa pendaki dari luar kota juga saya lihat datang di tempat ini. Sebagian beristirahat di pos perizinan dan sebagian juga beristirahat di warung-warung makan.

Di sebuah sudut di bawah pohon pinus tua meranggas yang tumbuh di sela-sela bebatuan tampak sisa-sisa puluhan batang dupa dan bunga-bunga yang telah layu, pertanda bahwa adanya orang-orang yang melakukan ritual dengan berbagai tujuan di kaki gunung yang identik dengan catatan sejarah akhir Prabu Brawijaya V ini, entah itu ritual untuk permohonan atau pun mungkin hanya sebuah penghormatan mengenang para leluhur di Tanah Jawa.

Pikiran saya menerawang mengenai ritual-ritual seperti ini yang hampir di setiap titik tinggi Pulau Jawa saya temui hal-hal yang serupa. Yang jika dilihat dari setiap sudut pandang berbeda selalu memberikan gambaran yang berbeda. Terlepas apa pun yang melatarbelakangi seseorang melakukan semedi atau tirakat di gunung yang notabene adalah daerah yang tidak ramah jika kita tidak tahu bagaimana beradaptasi, semua itu kembali ke masing-masing orang. Seperti kata seorang abdi dalem di Keraton Surakarta yang di kemudian hari saya temui, segala ritual tersebut kembali kepada usaha tiap orang akan keinginannya dan menyerahkan kembali segala sesuatunya kepada Dia yang berkuasa atas kehidupan.

* * *

Perjalanan awal saya mulai dengan menyusuri jalan setapak berbatu yang cukup lebar dan belum begitu mendaki. Tak salah memang jalur pendakian dari Cemoro Sewu ini menjadi jalur favorit para pendaki karena kondisinya yang baik, terpendek dibandingkan dengan jalur lainnya, dan konon katanya ada warung-warung makan di setiap posnya. Ya, warung makan. Dan itu akan saya buktikan nanti.

Pemandangan awal di sepanjang perjalanan dari Cemoro Sewu

Pohon-pohon cemara yang lebat dengan semak-semak liar yang tumbuh di bawahnya menjadi pemandangan awal sepanjang satu sampai dua kilometer pertama sampai nantinya bertemu kawasan ladang terbuka dan hutan-hutan perdu khas pegunungan di Pulau Jawa bagian tengah. Dua pondok yang kemungkinan didirikan oleh Perhutani berdiri mengacaukan perkiraan saya akan pos-pos pendakian sebenarnya di jalur ini. Di beberapa titik ladang, sisa-sisa pepohonan cemara dan pinus yang terbakar berdiri dan bergelimpangan di semak-semak yang menghijau.

Saya tiba di sebuah shelter yang awalnya saya kira adalah Pos 2 jalur Cemoro Sewu ini. Benar saja, ada beberapa warung berdiri di sebelah kiri jalur tersebut. Hanya saja saat itu tutup. Mungkin karena waktunya bukanlah musim pendakian. "Wah... Nyaman bener nih kalau di setiap pos ada warung makan", begitu gumam saya tersenyum sambil melirik carier Astaka yang penuh dengan logistik berlebih. Ketika kami berpapasan dengan pendaki lain, pos yang saya lewati tadi ternyata bukanlah Pos 2, melainkan Pos 1.

Dari kiri ke kanan : Bekas pinus yang terbakar; Berjalan mendaki di jalur Cemoro Sewu; Jalur di antara sabana dan padang rumput; Seekor jalak hutan yang mengikuti perjalanan

Dalam perjalanan, satu dua rombongan pendaki mendahului kami. Pergerakan kami bisa dibilang lambat. Apalagi ditambah waktu pengambilan video oleh Astaka yang memerlukan analisa-analisa sudut pengambilan gambar, sedikit wawancara dadakan, dan pengulangan-pengulangan yang melelahkan. Tapi semua itu cukup menyenangkan karena tiba-tiba saja saya merasa menjadi seorang host acara Jejak Petualang. Alhasil kami baru bisa membuka tenda dan bermalam di kawasan Pos 3 ketika senja telah menjelang. Azan magrib terdengar dikumandangkan oleh rombongan anak-anak pesantren dari Magetan yang saat itu juga bermalam di dekat tempat kami.

Langit yang memerah di cakrawala sebelah barat perlahan-lahan mulai menghitam pertanda malam sudah menjelang. Angin yang bertiup sepoi dan udara yang begitu dingin menemani saya meracik masakan makan malam. Seusai makan, saya tak berminat lagi untuk menghabiskan malam di luar tenda. Sleeping bag yang hangat di dalam tenda begitu menggoda. Apalagi malam sebelumnya saya tidak bisa beristirahat maksimal di kereta api bisnis tanpa tempat duduk kala perjalanan Jakarta sampai Surakarta.

* * *

Pagi menjelang. Cuaca begitu cerah. Gunung Sidoramping terlihat jelas di selatan. Kota Tawangmangu juga terlihat di sudut barat daya. Udara masih dingin ketika saya keluar tenda. Beberapa burung jalak hutan mengais sisa-sisa makanan tak jauh dari tempat saya, seolah tak asing dengan kehadiran manusia di dekatnya.

Gunung Sidoramping

Usai sarapan dan berkemas, kami pun melanjutkan perjalanan. Burung jalak hutan entah kenapa berjalan di depan kami. Meloncat sedikit demi sedikit layaknya menunjukkan arah jalan di tengah hutan ini. Udara masih dingin dan bertambah dingin ketika kami berhenti beberapa menit hanya untuk menstabilkan nafas. Bau belerang mulai tercium pertanda kawasan puncak sudah dekat.

Lewat di ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut, punggungan-punggungan gunung dengan tebing-tebing terjal di kanan kiri yang semula di atas kami telah terlewati. Telaga Pasir atau Telaga Sarangan yang merupakaan salah satu objek wisata di Tawangmangu sesekali terlihat di balik awan. Pemandangan sebagian besar berganti menjadi sabana dan padang rumput. Langit biru di atas dan awan yang bergumpal terlihat di bawah.

Lewat lima ratus tahun yang lalu, di sekitar kawasan inilah Prabu Brawijaya V dan abdi dalemnya mengasingkan diri. Di tempat ini terdapat sebuah mata air yang tak pernah kering menjadi sumber kehidupan bagi mereka yang berdiam di ketinggian Gunung Lawu pada zaman itu. Sendang Drajat, begitulah mata air itu disebut. Dan saat ini menjadi lokasi utama bermalam para pendaki sebelum melanjutkan perjalanannya ke puncak tertinggi Gunung Lawu, Hargo Dumilah. Sendang Drajat juga menjadi salah satu lokasi para peziarah dalam melakukan berbagai ritual.

Di cerukan-cerukan gua di beberapa dinding tebing yang tak jauh dari mata air, terlihat beberapa pendaki sedang beristirahat. Beberapa ada yang mandi di balik tembok bangunan baru di tempat yang juga tak begitu jauh. Juga sebuah warung makan yang saat itu terbuka dan memajang berbagai minuman kaleng begitu menggoda saya yang lelah. Warung tersebut menyediakan tempat bermalam seadanya berupa sebuah pondok yang bisa memuat belasan pendaki untuk bermalam. Saya pikir tentu saja jika ingin bermalam di sana kita sedikitnya harus berbelanja di warung tersebut.

Ketika kami hendak melanjutkan perjalanan dari Sendang Drajat, dua orang pendaki yang setahun lalu saya temui bersama Astaka ketika mendaki Gunung Sumbing kami temui lagi di Gunung Lawu ini. Kami semua tertawa ketika berbincang-bincang. "Takdir kita memang dipertemukan di gunung Mas", begitu selorohnya.

* * *

Di kawasan mendekati puncak, beberapa tempat yang di masa lalu digunakan oleh Prabu Brawijaya V dan abdi dalemnya mulai terlihat. Bangunan-bangunan seperti Kaputren, Kasatriyan, dan Kapanditan berdiri tegak di punggungan-punggungan menuju Hargo Dumilah. Sementara agak ke bawah terlihat pondok beratap terpal biru, bendera merah putih usang terpancang di depannya berkibar tertiup angin. Pondok itulah Warung Mbok Yem, warung yang setiap hari buka di sana.

Searah jarum jam : Awan yang berarak tipis di selatan; Langit yang memerah ketika senja di lereng Lawu; Telaga pasir atau Telaga Sarangan di kejauhan; Sebuah bangunan petilasan dan pondok Mbok Yem di salah satu punggungan

Mbok Yem beberapa tahun belakangan ini telah menetap di Gunung Lawu, ditemani beberapa ekor ayam peliharaannya. Saat itu ia saya temui sedang mencari kutu bersama anak lelakinya. Mbok Yem turun ke kota hanya tiga sampai empat kali dalam setahun. Untuk dagangan di warung dan kebutuhan sehari-hari, anak lelakinya dan beberapa suruhan membawakannya secara berkala dari kota terdekat.

"Kalau hari libur atau sabtu minggu, banyak Mas yang mendaki ke sini. Apalagi kalau satu syuro, peziarah yang menuju kawasan puncak Gunung Lawu ini juga banyak", begitu kata Mbok Yem masih asyik di pelataran warungnya. Sementara sebotol pocari sweat mengobati haus saya di hari menjelang siang itu. Di warung yang jauh dari peradaban ini, harga yang ditawarkan tidaklah melambung tinggi. Hanya lebih beberapa ribu rupiah dan tak sampai dua kali lipat harga biasa, dan itu wajar mengingat jarak serta medan yang harus ditempuh untuk membawanya.

Beberapa ratus meter di atas, Hargo Dumilah sebagai titik tertinggi Gunung Lawu sudah kelihatan. Bendera merah putih terlihat berkibar di sana dari tempat saya berdiri. Perjalanan masih mendaki di bebatuan dan vegetasi-vegetasi dataran tinggi.

Menjelang tengah hari, kami sudah berada di Hargo Dumilah. Sebuah tugu triangulasi penanda ketinggian berdiri gagah di bawah kibaran sang merah putih. Coretan-coretan hasil vandalisme memenuhi setiap sisinya seperti di dinding-dinding tebing dan bebatuan yang saya lihat di sepanjang perjalanan sebelumnya. Ketinggian 3265 mdpl, begitu tertulis pada keterangan tugu triangulasi tersebut. Sedangkan dari peta terbitan bakosurtanal yang saya bawa disebutkan ketinggiannya adalah 3266 mdpl. Begitu pun penunjuk ketinggian dari GPS yang dibawa, menunjukkan angka dengan selisih yang tidak begitu jauh.

Merah putih berkibar di Hargo Dumilah

Di sebelah selatan terlihat Hargo Dalem, salah satu titik penting tempat para peziarah melakukan semedi. Konon di tempat itulah Prabu Brawijaya V melakukan sendiko bayu murti dan mengucapkan dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Sunan Kalijaga yang menyusulnya ke sana. Dan di tempat itu pula terjadi perbincangan-perbincangan antara sang prabu dengan dua abdi dalemnya Sabda Palon dan Naya Genggong tentang filosofi alam pikiran dan semesta sebelum akhirnya sang prabu itu manunggaling idep atau menghilang dari kehidupan. Sementara sisa-sisa kekuasaan di Tanah Jawa dibangun kembali oleh Raden Patah melalui Kerajaan Demak, dua abdi dalem Sabda Palon dan Naya Genggong yang tidak mau mengikuti jejak sasuhunannya mengasingkan diri ke pantai timur Pulau Jawa sampai akhirnya menyeberang ke Pulau Bali. Majapahit pun berakhir.

* * *

Lewat tengah hari, kami beranjak turun dari Hargo Dumilah. Kali ini perjalanan turun gunung mengarah ke barat daya, ke jalur pendakian Cemoro Kandang. Jalan setapak yang membelah padang rumput terlihat di kejauhan kala kabut pegunungan mulai naik perlahan-lahan.

Melipir lereng Hargo Dumilah ke arah Cemoro Kandang (photo by Astaka S.)

Jalur pendakian melalui Cemoro Kandang ini terlihat lebih sepi dari pendaki dibandingkan dengan jalur pendakian melalui Cemoro Sewu. Selain jarak tempuhnya yang lebih jauh, jalur pendakiannya juga hanya jalan setapak biasa dan tidak berbatu. Hanya dua kelompok pendaki yang kami temui melintas di jalur ini. Salah satunya adalah kelompok pendaki yang kebetulan salah satunya adalah teman lama Astaka. Lama tak bertemu, bertemunya malah di gunung. Jadilah beberapa menit itu acara reuni mereka berdua.

Di Pos 4 jalur pendakian Cemoro Kandang ini kami membuka bekal untuk makan siang. Angin bertiup sepoi-sepoi. Suasana begitu sepi. Keheningan ini membangkitkan keingintahuan saya akan misteri-misteri sejarah masa lalu, tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan tak tergambarkan dengan pasti. Masa yang telah jauh berlalu sebagian besar menyisakan ceritanya melalui serat-serat, prasasti-prasasti, pupuh-pupuh, maupun kitab-kitab. Benda-benda peninggalan itu berkata dengan tidak tersurat, hanya menyiratkan makna-makna yang mempengaruhi peradaban umat manusia dengan persepsinya. Kadang segala yang tertulis dan sambung-menyambung diceritakan dari generasi ke generasi bisa berbeda artinya, bahkan bisa saja saling dipertentangkan satu sama lain jika mereka yang menerima tidak siap dalam mencernakannya.

* * *

Seusai makan siang perjalanan turun pun kami lanjutkan. Perkiraan saya, sebelum malam menjelang kami sudah tiba di Pos Pendakian Cemoro Kandang. Data jalur pendakian melalui Cemoro Kandang yang telah dicatat dengan baik oleh anak-anak Astacala yang sebelumnya pernah mendaki gunung ini ternyata cukup akurat. Perbandingan jarak, beda ketinggian, titik-titik pos, dan gambaran-gambaran medan sangat membantu saya dalam memperkirakan waktu perjalanan dan menentukan waktu istirahat.

Derasnya Sungai Banlono yang memisahkan antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur yang mengalir di lembahan gunung ini terdengar makin jelas. Sayup-sayup suara kendaraan bermotor menderu kencang juga terdengar pertanda jalan raya Karanganyar - Magetan sudah dekat, yang berarti bahwa Pos Pendakian Cemoro Kandang pun juga sudah dekat. Kami beristirahat ketika jalan raya sudah mulai terlihat. Semua perbekalan dihabiskan. "Capek-capek dibawa naik turun gunung, sayang kalau bekal-bekal ini dibawa pulang lagi", gumam saya sambil menyeruput sisa-sisa air dari bungkusan nata da coco.

Di ketinggian Lawu

Akhirnya di hari yang telah beranjak senja kami tiba di tepi jalan raya seusai beramah-tamah dengan penjaga Pos Pendakian Cemoro Kandang. Di kejauhan, Gunung Lawu masih berdiri gagah seiring senja yang beranjak malam. Perjalanan saya ibaratnya sebuah napak tilas mengenang akhir kejayaan sebuah kerajaan besar di nusantara, meniti kepingan-kepingan masa lalu yang disebut sejarah, guru kehidupan. Apa pun kepingan-kepingan itu, ia membuka mata kita akan cerita kehidupan umat manusia yang pernah ada, kenyataan pada saat ini, dan harapan-harapan pada masa yang akan datang. Mempelajari filsafat-filsafat yang dikandungnya dengan penuh pengertian dan kejernihan, semoga mendapatkan toleransi yang menghasilkan harmoni kebijaksanaan dan kebahagiaan.

Find Lawu Pictures in My Gallery
Find Lawu Video in You Tube

Jakarta - Surakarta, Mei - Juni 2011

Comments

  1. Ini cerita yang gw suka jrot.. ada cerita dalam cerita! keren!
    Lebih gimana gitu..
    Ikutan bikin kaya gini aha hehehe...

    ReplyDelete
  2. Kalau saya memang penyuka sejarah Tong. Untuk Indonesia, selain Sejarah Bali, saya paling suka Sejarah Majapahit. Dari kecil dicekcoki sandiwara radio tiap sore, udah gede malah suka mengoleksi buku-bukunya. Hehehe...
    Selanjutnya lagi, sedang tertarik dengan yang di Jawa Barat aka Padjajaran. Kalau nanti jalan-jalan ke Badui, bagus Tong untuk punya bekal pengetahuan sejarah tanah pasundan ini. Jadi ada bayangan-bayangan masa lalu ketika jalan, nggak hanya nongkrongin hutan dan sungainya. :-)

    ReplyDelete
  3. Tonton video pendakian Lawu ini di link berikut :

    http://www.youtube.com/watch?v=Z18EolGXxik&feature=youtu.be

    ReplyDelete

Post a Comment