Skip to main content

Di Negeri Laskar Pelangi

Dari dalam pesawat yang baru terbang puluhan menit dari Jakarta, saya melihat hijaunya Pulau Belitung lengkap dengan beberapa landscape bopeng pertambangan timah di beberapa sudut hutannya. Sementara lekukan-lekukan pantai dan pulau-pulau kecil dengan bebatuan granit yang menyembul tak teratur tetapi indah terlihat berpadu dengan birunya laut.

Salah satu sudut bopeng Pulau Belitung

Dua tahun terakhir, pulau yang menjadi bagian dari Provinsi Bangka Belitung ini mulai terkenal setelah sukses novel dan film Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Pulau yang juga pernah menjadi alat tukar antara Inggris dan Belanda pada zaman penjajahan dulu kini menjadi salah satu tujuan wisata populer di Indonesia.

Dan inilah alasan saya mengunjungi tempat ini bersama teman-teman dari komunitas XL Adventure. Perjalanan wisata ke Pulau Belitung di wilayahnya bagian barat laut, pantai dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Semuanya masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.

Tanjung Pandan dan Mie Cap Atep

Jalanan aspal yang cukup baik, rumah-rumah khas melayu, dan pepohonan yang menghijau menjadi pemandangan sepanjang perjalanan dari Bandara Hanandjoeddin menuju pusat kota Tanjung Pandan.

Belitung, Negeri Laskar Pelangi

Mie Belitung Cap Atep, menjadi menu sarapan pagi yang terlambat. Mie dengan rasa cuka yang kentara serta minuman jeruk yang masih lengkap dengan biji-bijinya. Dan sepertinya warung Mie Atep ini adalah yang terkenal di Tanjung Pandan karena saya melihat banyak wisatawan yang dibawa ke warung ini untuk makan pertamanya. Saya pun sempat antri untuk bisa masuk dan duduk, serta pelayannya yang terlihat kewalahan melayani pengunjung yang sebagian besar datang dari luar kota.

Tanjung Tinggi dan Tanjung Kelayang

Perjalanan menyusuri tepian barat pulau ini kurang lebih selama tiga puluh menit menuju Tanjung Tinggi di bagian utara. Inilah pantai yang menjadi lokasi syuting film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Bebatuan granit yang tinggi besar menghampar. Air laut yang jernih, dangkal, dan kebiruan. Cuaca sangat mendukung. Cerah dan tentu saja panas. Tapi tak menyurutkan para pecinta keindahan berdecak kagum berkeliling di celah-celah bebatuan, juga para photografer yang tak henti-hentinya menekan tombol shutter kamera. Hanya saja sayang sungguh disayang, coretan-coretan tidak bertanggung jawab menghiasi beberapa dinding bebatuan.

Bebatuan di Tanjung Kelayang, tidak jauh berbeda dengan di Tanjung Tinggi

Tak jauh dari Tanjung Tinggi, beberapa kilometer di sebelah barat adalah Tanjung Kelayang. Sebuah desa nelayan. Pasir putih yang memanjang lengkap dengan perahu-perahu yang sedang parkir di tepinya. Sementara di ujung tanjung, bebatuan granit bertebaran dengan indahnya. Dari Tanjung Kelayang inilah kami menyeberang menuju Pulau Kepayang sejauh dua kilometer.

Lebih dari satu jam kami menyusuri perairan Belitung di ujung Laut Cina Selatan, karena memutar untuk bisa melewati pulau-pulau bebatuan granit menuju Pulau Kepayang. Melewati Pulau Batu Garuda, Pulau Batu Berlayar, Pulau Pasir, Pulau Tukong, dan beberapa pulau bebatuan granit lainnya yang menyembul di atas air laut.

Di Pulau Babi (Pulau Kepayang)

Pulau Kepayang, yang lebih dikenal dengan nama Pulau Babi adalah tempat kami menginap. Pulau yang menjadi pulau ekowisata dan konservasi terumbu karang serta penyu ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Pulau Babi karena konon dahulu dihuni orang yang memelihara babi di pulau tersebut.

Pulau ini tidak berpenghuni, hanya saja berdiri beberapa pondok yang baru didirikan oleh KPLB (Kelompok Peduli Lingkungan Belitung) sebagai tempat ekowisata di ujung sisi utara. Didominasi oleh pepohonan hutan khas ekosistem pantai seperti kelapa, ketapang, waru, dan pandan.

Saya baru menyadari bahwa ada banyak pohon kelapa tanpa daun di Pulau Kepayang, juga di setiap tempat di Belitung. Tampak bekas-bekas terbakar pada pohon sekitar dan bebatuan. Ternyata hal itu disebabkan karena bebatuan dan timah di setiap tempat di Kepulauan Belitung mengandung medan magnet yang tinggi sehingga memicu api dan aliran listrik dari petir yang menyambar. Sehingga sangat disarankan apabila cuaca tidak baik, setiap orang untuk tetap berada di dalam rumah dan menghindari tempat-tempat yang tinggi.

Malam di Pulau Kepayang

Malam pertama di Belitung ternyata tidak kalah dengan siangnya. Cerah. Ribuan bintang bertaburan di langit. Begitu juga bulan yang belum penuh terbit dari ufuk timur menyinari bebatuan yang diterjang ombak. Kerlap-kerlip lampu kapal dan lampu-lampu di pulau seberang. Jepretan-jepretan dengan shutter time yang lama dari kamera di atas tripod dan kilatan-kilatan lampu blitz menjadi pemandangan tersendiri sampai malam menjadi larut. Suasana yang damai dalam kesunyian dan belaian angin lautan. Bahkan beberapa rekan seperjalanan sempat tertidur di atas batu malam itu. Bintang-bintang yang nun jauh di atas sana, gelap dan sunyi, membawa angan saya berkelana tentang harmoni alam semesta, tentang misteri perjalanan kehidupan. Siapakah kita dalam landscape yang luas sampai nun jauh di luar angkasa sana?

Mercusuar di Pulau Lengkuas

Hari kedua di Belitung, adalah mengunjungi Pulau Lengkuas. Sebuah pulau yang sepertinya wajib dikunjungi oleh wisatawan di Belitung. Di pulau ini berdiri mercusuar buatan Belanda pada tahun 1882. Bisa dihitung berapa umurnya sekarang. Baut dan rangkanya banyak yang berkarat, tetapi mercusuar ini masih berfungsi untuk mengarahkan perahu-perahu nelayan dan kapal besar melewati Selat Gaspar, menuju atau dari Selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas laut yang sangat ramai.

Mercusuar di Pulau Lengkuas

Pak Yasmin dan Pak Ben yang sudah berumur limapuluhan merupakan dua orang penghuni pulau ini, sebagai penjaga mercusuar selama setahun terakhir. Mercusuar ini berada di bawah naungan Direktorat Jendral Perhubungan Laut DKI Jakarta, karena Provinsi Bangka Belitung belum mempunyai bagian kepegawaian di bidang ini. Pak Yasmin dan Pak Ben diroling dalam selang waktu tertentu untuk ditempatkan di mercususar-mercusuar lain di perairan Laut Jakarta, perairan di sebelah barat Lampung sampai ke Bengkulu, dan perairan Bangka Belitung.

"Sudah 28 tahun saya menjadi penjaga mercusuar, dan setahun lagi saya akan pensiun", begitu kata Pak Yasmin di sela-sela ceritanya tentang keluarganya di Pulau Jawa. Lain dengan Pak Yasmin, lain pula dengan Pak Ben, ia tidak begitu kesepian lagi menjaga mercusuar seperti sebelumnya. Ia bercerita bagaimana di Pulau Lengkuas ini setiap hari ramai dikunjungi wisatawan. Bahkan beberapa artis ibukota ada yang datang berlibur dan diliput oleh infotaiment televisi swasta nasional.

Menanam Terumbu Karang, Berinvestasi Lingkungan

Selepas tengah hari, hari kedua di Belitung, kegiatan kami adalah melakukan penanaman terumbu karang. Terumbu karang yang telah disetek sebelumnya dalam bahan semen bercampur stereofom ditanam oleh masing-masing orang, lengkap dengan nama si penanam. Ditanam di perairan sebelah tenggara Pulau Kepayang dengan kedalaman tiga sampai empat meter. Sedikit pengarahan tentang kegiatan ini telah diberikan sebelumnya oleh Mas Budi, ketua sekaligus perintis KPLB. Kegiatan ekowisata seperti ini memang positif. Selain berwisata, investasi terhadap lingkungan pun bisa kita lakukan. Walaupun penanaman skala kecil, setidaknya lebih baik daripada tidak sama sekali.

Berinvestasi terumbu karang

Teluk yang Indah di Pulau Tukong

Menjelang sore, kami mengunjungi Pulau Tukong. Pulau yang ada di seberang Pulau Kepayang ini memiliki teluk yang sangat bagus. Dengan dinding bebatuan granit dan pepohonan hijau, perairan yang jernih dan dangkal, sering digunakan oleh wisatawan untuk latihan snorkling. Tapi lagi-lagi satu hal yang sangat disayangkan dan tidak patut ditiru, ada banyak sampah non organik berserakan di salah satu tepian teluknya yang dibuang oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.

Bermain air di teluk Pulau Tukong

Hari-hari Terakhir di Belitung

Sinar matahari mulai meredup ketika kami kembali ke Pulau Kelayang. Langit tampak kemerahan di balik mercusuar Pulau Lengkuas seiring waktu yang akan beranjak malam. Api unggun dan aroma ikan bakar yang menggoda selera sampai alunan lagu-lagu khas Belitung dari teman-teman KPLB menemani kami menghabiskan malam.

Kepice kepice, ade jeramba gede.

Aik gemuro... Aik gemuro.. Be bue... Bue....


Musim ujan banyak ikan kecik.

Terkenal e name e cempedik.

Ukan linggang, ukan juak kelik.

Nasik sepinggan nak mubo agik.

Hari terakhir di Pulau Kepayang, Belitung. Rasanya begitu enggan untuk beranjak. Apalagi pagi-pagi hujan turun menambah dinginnya angin laut yang berhembus. Lautan di depan pulau terlihat berkabut. Rasanya seperti di gunung saja.

Belitung, sampai jumpa lagi

Menjelang siang kami harus beranjak meninggalkan Pulau Kepayang. Rutinitas dan panggilan dari ibukota sepertinya sayup-sayup mulai terdengar. Perahu pun melaju menyusuri lautan menuju Tanjung Kelayang. Sementara di bawah air yang membiru, ada terumbu-terumbu karang yang kami tanam kemarin. Terumbu karang harapan, begitu saya sebut. Semoga beberapa tahun lagi kami masih bisa diberikan kesempatan untuk bisa kembali melihatnya tumbuh menjadi indah. Seiring isu kerusakan ekosistem di bumi yang tidak pernah berhenti, semoga karang-karang itu tetap bertahan. Meluas memenuhi perairan. Memicu ikan dan tetumbuhan laut untuk hidup dan berkembang biak. Sehingga lagu Ke Pice akan tetap selalu mengalun dan berarti dinyanyikan oleh anak-anak nelayan Belitung.

Find Belitung Pictures in My Picasa
Belitung - Jakarta, Juli - Agustus 2010

Comments

  1. Belitong memang luar biasa indahh.. senang banget bisa ikut trip kemarin.

    Thanks sudah dibuat ceritanya bli, bisa jadi kenang-kenangan di masa depan, menapaktilas kembali pengalaman yang menyenangkan ini

    ReplyDelete
  2. Sama-sama Bang Untung.

    Terima kasih juga sudah banyak motoin saya yang narsis. :-)

    Foto dan tulisan memang kenang-kenangan indah untuk dibuka kembali beberapa ahun lagi. :-)

    ReplyDelete
  3. pulau kepayang pas malem indah bangett !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    ReplyDelete
  4. wahh ..
    kapan yah bisa ke belitung
    :D

    ReplyDelete

Post a Comment