Skip to main content

Bromo (Part 2 : Menapak Lautan Pasir)

Hanya Jeep dan Sejenisnya

Pickup yang kutumpangi mulai menuruni punggungan Gunung Penanjakan ini. Jalanan begitu curam. Meliuk-liuk dan kondisi jalan yang tidak rata.

Hanya Jeep dan Sejenisnya

Beberapa saat kemudian lautan pasir sudah terhampar di depan. Di musim penghujan ini, kendaraan sejenis pickup bisa melewati daerah ini. Sedangkan jika musim kemarau, tak akan sanggup. Hanya kendaraan sejenis jeep yang mampu. Selain karena kepadatan pasir yang berkurang, juga karena peraturan daerah ini hanya memperbolehkan kendaraan jeep dari penduduk sekitar. Ini tentu untuk menambah pendapatan asli penduduk asli daerah ini.

Berpisah dengan Pak Yanto

Pak Yanto menurunkanku di sekitar areal pura sesuai permintaanku. Aku akan melanjutkan perjalananku dengan jalan kaki sampai Cemoro Lawang. Aku memberikannya uang pengganti bensin secukupnya. Dan tentu saja ucapan terima kasih karena telah diantar dan diterima dengan baik di rumahnya. Pak Yanto akan langsung kembali ke Wonokitri, pekerjaannya di kebun sudah menunggu.

Lautan Pasir

Hamparan kaldera Lautan Pasir Bromo ini kurang lebih seluas sepuluh kilometer persegi seperti peta bakosurtanal dan data yang kuperoleh. Tidak semua hamparan ini tertutup oleh pasir. Di beberapa bagian, terutama di pinggir di bawah kaki bukit, rumput-rumput ilalang tumbuh dengan bunga-bunga padang pasir yang berwarna jingga. Kata beberapa orang, itu adalah bunga edelweis. Tapi menurutku bukan.

Di Lautan Pasir

Angin bertiup kencang. Kabut tetap turun. Hari masih pagi. Karena saat ini di akhir tahun adalah musim penghujan, hamparan pasir cenderung padat. Bisa dibayangkan jika musim kemarau. Pastilah debu dan pasir beterbangan.

Mendaki Gunung Bromo

Aku berjalan menyusuri hamparan pasir ini. Di sebelahku, Gunung Batok tegak berdiri. Ada belasan penunggang kuda yang bisa kita sewa jasa kuda mereka. Salah satunya, seorang bapak tua menawariku untuk naik kuda sampai ke atas. Kutolak dengan halus. Tapi ia tetap saja mengikutiku. Hhh... Terserahlah Pak.

Jalan ke arah puncak Gunung Bromo masih berupa pasir. Juga menyeberangi sebuah sungai mati kecil. Untuk kemudian akan berjumpa dengan anak tangga yang kalau kita ikuti akan sampai pada tepian kawah.

Gunung Bromo

Sampai di atas, bukannya udara segar yang ada. Melainkan udara yang bercampur dengan asap belerang yang berhembus mebumbung tinggi dari dalam kawah. Membuat nafas sesak.

Tak begitu lama kuhabiskan waktu di tepi kawah ini. Aku pun menuruni tangga ini lagi.

Pak Tua yang Setia

Di bawah, di ujung anak tangga, Pak Tua yang tadi mengikutiku masih berdiri menunggu. Padahal sudah tak ada lagi pengunjung selain aku. Aku sebenarnya masih ingin berjalan kaki sampai kembali lagi ke bawah, ke areal pura. Aku jadi iba melihatnya menungguku.

Menunggu Penyewa

Akhirnya kucoba untuk menaiki kudanya. Tentu saja setelah kutawar dengan harga yang layak. Ia menuntunku di samping kuda. Menuruni bukit pasir ini perlahan-lahan sambil ngobrol bersamanya. Ternyata kuda-kuda di sini didatangkan dari Nusa Tenggara Timur. Bukan asli Tengger, karena memang tidak ada kuda di Tengger.

Menuju Cemoro Lawang

Pak tua masih menawariku untuk naik kuda sampai ke Cemoro Lawang. Tapi tidak untuk kali ini. Aku berjalan kaki saja. Karena memang dengan jalan kaki aku akan lebih bisa melihat hamparan pasir dan padang ilalang. Melihat alam pegunungan Tengger ini.

Panas dan terik mulai menyengat. Jam sepuluh pagi. Di tengah hamparan pasir. Dua botol air mineral yang kubawa masih terisi satu. Jejeran beton putih yang menjadi petunjuk jalan ke arah Cemoro Lawang berbaris rapi memanjang. Beberapa sampah non organik beterbangan ditiupkan angin. Juga sepasang sendal bermerk yang salah satunya putus teronggok di sebuah gundukan. Entah siapa yang tega meninggalkan jejak-jejak seperti ini di hamparan pasir yang menawan.

Aku berjalan memotong, menuju punggungan bukit, di jalan setapak yang biasa digunakan oleh penduduk, mendaki ke arah sebuah tower BTS yang terlihat menjulang tinggi di kejauhan.

View dari Cemoro Lawang

Di tengah jalan, di bawah pohon yang rindang, aku beristirahat. Ditemani seorang pencari rumput yang juga sedang berisitirahat. Cukup lama aku beristirahat dan ngobrol bersamanya. Obrolannya tentu saja tentang Tengger, dan Bali. Tentang persamaan dan perbedaan. Dan ketika aku ditinggalkannya sendiri, kutatap latar di depan. Sunyi, didera angin yang berhembus. Apakah itu kedamaian? Membawa senyumanku kembali ketika aku pertama kali bertanya pada diriku tentang asal muasal alam semesta. Tentang kedamaian. Ah... Kesunyian yang abadi. Sudahlah.

Cemoro Lawang

Kakiku mulai menapak desa ini. Sebuah tower BTS berdiri tegak. Rumah-rumah berdiri di sela-sela ladang bawang yang menghijau. Pohon-pohon pinus berderai dibalut oleh kabut yang turun di siang ini. Mendung mulai bergelayut di langit.

Seorang tukang ojek yang sepertinya bukan asli desa ini berkali-kali menawariku jasa untuk mengantarkan ke Probolinggo. Tapi kutolak. Aku masih ingin beberapa saat di desa ini. Sekalian mau mencari makan siang.

Desa Cemoro Lawang

Desa Cemoro Lawang ini kulihat lebih sedikit tersentuh pengaruh wisata jika dibandingkan dengan Desa Wonokitri. Ini terlihat dari adanya warung makan, mulai dari yang sekadar warung sampai restoran. Penginapan juga banyak dan lebih berkelas hotel. Angkutan umum juga ada.

Pulang

Gerimis mulai turun dan bertambah deras. Seusai makan siang, sebuah minibus mengantarkanku. Bersama beberapa orang penduduk dan dua orang wisatawan. Perjalanan menurun. Sesekali minibus berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.

Di atas, kabut menyelimuti Pegunungan Tengger. Hujan masih turun. Sungai-sungai kecil yang sesekali terlihat di sepanjang perjalanan mengalir keruh kecoklatan. Perlahan-lahan aku mulai terlelap. Setengah-setengah, di tengah guncangan kendaraan di jalan yang tak rata. Embun membasahi jendela. Sampai jumpa lagi Bromo.

Find The Other Picture In My Picasa
Probolinggo, Desember 2008

Comments

Post a Comment