Skip to main content

The Motherland

Selepas burung besi pun menderu di atas Samudera Hindia. Menjejakkan roda-rodanya di landasan Ngurah Rai. Selepas melaju, merasakan suasana rumah kembali. Berbaur dengan aroma wewangian semerbak dupa dari canang-canang sari kala senja di Pulau Dewata. Seiring musik-musik magis penuh pesona.

Kupandangkan mata. Menghirup dalam-dalam suasananya. Menyusuri jalan panjang pesisir pantai selatan ke arah timur pulau ini. Kota yang bersahabat. Yang membawa sejenak perasaan ke masa silam. Tempat dimulainya masa-masa terbaik yang pernah kumiliki.

Di sepanjang jalan Flamboyan, Surapati, dan Gajah Mada. Sepertinya jalan-jalan yang kulalui terlihat mengecil dan sepi. Entah. Apakah aku yang terbiasa dengan keramaian dan kemacetan. Di beberapa tempat, wajah-wajah tak asing masih ada. Seperti di jajanan sore senggol jantung Kota ini.

Entah dari mana rasa haru ini muncul. Di mana kamu kawan. Melihat secuil masa silam. Melihat realita tentang jalan hidup yang telah ditempuh masing-masing. Kita memang tak bisa mengalahkan waktu, pikirku ketika mulai terlelap. Apalagikah yang sudah berubah?

Dan selepas siang. Di sebuah jamuan pesta pernikahan. Di sela-sela obrolan tentang Bali yang digerus modernisasi. Dengan laju pariwisata. Dengan vila-vila yang menjamur dan hotel-hotel yang makin sepi, katanya. View pemandangan hamparan sawah yang menghijau itu indah. Makanya bule-bule dan orang-orang Jakarta itu menyewa petani untuk mengairi sawah untuk menanam bibit padi yang menghijau. Hanya untuk menghijau. Bukan untuk dipanen. Karena jika dipanen, keindahan hamparan sawah menghijau akan hilang. Sebuah keindahan palsu. Selama ada uang, apapun bisa dibeli. Walau harus mengorbankan makna dan fungsi dasar persawahan itu sendiri. Atau mungkin harga diri. Sudahlah.

Di waktu yang berbeda. Saat malam mulai menjelang. Kuhabiskan malam kali ini bersama dua sahabat. Ternyata kami memutar waktu lagi. Sementara lidah kita sebagian besar bercerita tentang dulu. Seberapa jauhkah kita sudah melangkah kawan? Bukankah kita kan selalu menebar tawa di atas bumi yang tersenyum riang. Sekali lagi aku terharu. Kita masih menghabiskan malam. Larut pun mulai terus beranjak. Dengan kisah perjalanan hidup kita. Sejauh manakah kita sudah melangkah? Sementara istrimu sudah lama terlelap di dalam.

Dan gemericik hari perlahan mulai berganti. Kutatap kota ini lagi. Kuhirup dalam-dalam suasananya. Sendiri saja kali ini. Hujan yang turun dari langit yang kelabu. Menambah cita rasa suasana untuk sekedar mencicipi jukut undis dan pesan clengis yang lama tak pernah kukecap. Indahnya rumah ini. Yang kutahu, akan selalu membuatku rindu. Membawa tubuh ini nanti pergi, hanya untuk sekedar mampir atau menetap di beberapa kota yang lain. Yang kutahu, akan selalu membuatku rindu.

Klungkung, November 2008

Comments

Post a Comment