Skip to main content

Cibareno, Antara Bayah dan Cisolok

Cibareno, antara Bayah dan Cisolok

Jumat siang yang mendung. Aku, Billy, dan Blasius beranjak dari Terminal Kampung Rambutan menuju Cibadak. Di atas bus ekonomi jurusan Sukabumi yang menderu di sela-sela kemacetan. Cibadak, kota yang terletak antara Sukabumi, Bogor, dan Pelabuhan Ratu, menjadi tujuanku.

Di Cibadak, kami menunggu bus cukup lama. Hujan turun cukup deras. Memaksa kami berteduh di emperan toko dengan berteman gorengan yang dibeli oleh Billy. Bocah-bocah kecil yang mencari-cari perhatian kami terlihat cukup ramah mengajak kami ngobrol. Menjelaskan berbagai trayek angkutan yang bisa membawa kami ke arah Pelabuhan Ratu.

Selang kurang lebih sejam kemudian, bus MGI berAC pun kami naiki. Untunglah, pas tersisa tiga tempat duduk untuk kami. Tapi, kemudian di depan, seorang ibu-ibu naik lagi dengan berbagai barang dagangannya. Panci, dandang, ember, gayung, dan berbagai kardus serta barang lain pun masuk. Buset dah. Jadi nggak bisa bergerak begini. Ibu ini tega banget menjejalkan barang-barangnya di antara kami, begitu pikirku. Tapi sudahlah, kami nggak banyak protes, toh kami adalah anak-anak yang baik. Hehehe.

Sepanjang perjalanan, menjelang Pelabuhan Ratu, pemandangan di kiri dan kanan jalan cukup indah. Bukit-bukit membentang. Ladang-ladang menghijau juga terhampar. Walaupun daerah dataran rendah, kabut turun di sela-sela hujan.

Malam di Pelabuhan Ratu

Malam pun menjelang ketika bus berhenti di Terminal Pelabuhan Ratu. Sepi. Hujan gerimis masih turun. Kami turun. Beberapa tukang ojek menghampiri kami. Berebut dengan tawaran siap mengantarkan kami. Aku sempat bingung sebentar. Emangnya mau diantar ke mana. Kemarin janjiku ama Ulil bertemu di Pelabuhan Ratu, tapi belum pasti titik tepatnya di mana.

Akhirnya kami memutuskan untuk makan malam sekalian istirahat di sebuah warung yang masih buka. Sambil bertanya-tanya mengenai tempat di mana kami bisa bermalam.

Kami putuskan untuk diantarkan ke Pantai Citepus. Kata tukang ojeknya, di sana banyak penginapan murah. Tempatnya indah. Cocok buat kami yang masih muda. Atau kalau mau juga bisa membuka tenda di pantai untuk bermalam. Kami iyakan saja, karena satu pun dari kami tidak ada yang mengenal daerah ini.

Tukang ojek mengantarkan kami ke sebuah Alfa Mart di Kota Pelabuhan Ratu ini untuk berbelanja berbagai perlengkapan kami yang kurang. Kemudian kami pun melaju lagi menuju Citepus. Di pinggir pantai, terdapat banyak deretan rumah dan warung sederhana. Kami dibawa masuk ke salah satunya. Tawar menawar dengan pemilik penginapan, harga cocok, deal.

Citepus Oh Citepus

Malam belum begitu larut, aku dan Billy ngobrol di depan kamar. Sedangkan Blasius sedang sibuk mandi dan bersolek di dalam kamar, untuk kemudian bergabung lagi denganku dan Billy. Deburan ombak terdengar begitu keras di seberang penginapan.

Sementara itu, kamar di sebelah kamar kami, ditempati oleh seorang lelaki kira-kira umur tiga puluhan. Pandangannya cuek kepada kami. Seolah tidak peduli. Bahkan senyumanku untuk menyapa tidak dihiraukannya. Beugh... Masa bodohlah.

Selang beberapa saat kemudian, datanglah seorang tukang ojek bersama seorang wanita. Mereka ngobrol di salah satu meja. Seperti tawar-menawar barang. Si wanita ini terlihat seronok, dengan sebatang rokok di tangan yang sesekali dia hirup dan hembuskan. Kemudian keduanya masuk ke dalam kamar, mengunci pintu. Sementara si tukang ojek menunggu di luar.

Aku, Billy, dan Blasius terdiam sesaat. Seperti orang bego, saling berpandangan. Sepertinya penginapan ini memang untuk tempat begituan deh, esek-esek udug-udug, ujar Billy kepadaku. Anjrid...!!!

Mau gimana lagi. Cuek ajalah. Masa bodoh penginapan ini penginapan apa. Kalau mau tidur, tidur ajalah. Toh udah terlanjur dibayar ini.

Hhh... Memang menyebalkan. Bisa-bisanya tukang ojek itu mengantarkan kami ke tempat ini. Pantesan mereka bilang "indah". Tapi tak mengapalah. Perjalanan ke tempat baru biasanya memang penuh dengan hal-hal yang mengejutkan. Dan itulah serunya. Hehehe... Peace! Yang pasti, kita nggak ngapa-ngapain loh di tempat ini...

Akhirnya, daripada mendengarkan suara-suara nggak jelas di kamar sebelah, kami pun jalan-jalan di sekitar Citepus. Beli durian dan nongkrong di trotoar pinggir pantai. Malam yang indah.

Peisir Pantai Citepus, Pelabuhan Ratu

Menuju Bantarawi

Subuh, telpon Ulil membangunkanku mengabarkan dia sudah tiba di Citepus. Sampai menjelang pagi, Ulil dan Blasius melanjutkan tidurnya. Sedangkan aku dan Billy jalan-jalan di pantai. Ngobrol-ngobrol dengan seorang warga tentang Pelabuhan Ratu, tentang Pantai Selatan, tentang Nyi Roro Kidul, dan tentu saja tentang Cibareno. Jauh di pinggir pantai sebelah barat, samar-samar terlihat Samudera Beach, hotel berbintang pendirian Soekarno.

Pagi menjelang, kami pun beranjak meninggalkan Citepus. Menuju Cilograng. Kota terakhir sebelum kami ke Bantarawi.

Dari balik jendela

Perjalanan kali ini sungguh menyenangkan. Sekali lagi pemandangan yang sangat indah terhampar di kanan kiri. Hutan di sisi kanan jalan sepanjang jalan ternyata merupakan cagar alam, Cagar Alam Sukawayana. Perjalanan naik turun bukit. Pantai di selatan. Sungai, ladang, dan hutan di kanan. Jembatan Sungai Cibareno pun kami lewati. GPS Garmin Ulil menunjukkan titik tersebut. Wauw... Jeram-jeramnya lumayan.

Pemandangan di sepanjang jalan

Sebelum Cilograng, kami turun. Sempat sarapan di sebuah warung yang memang tidak ada yang jualan nasi. Beugh... Ulil yang bisa bahasa Sunda minta tolong untuk dimasakin telor dadar. Hehehe, sekian lama sudah kami tak merepotkan orang kampung seperti ini lagi. Terima kasih Ibu..., begitu kami ucapkan setelah meninggalkan warung tersebut.

Kemudian, kami berjalan menuju Bantarawi, kampung pinggir sungai Cibareno tempat kami memulai penyusuran sungai ini. Jalannya kecil dan berbatu. Sungguh jelas hanya diperuntukkan untuk kendaraan 4wd dan sejenisnya.

Tiba di Bantarawi, hujan turun lagi. Terlihat kampung ini kecil. Cukup sepi. Mungkin penduduknya sebagian besar sedang bekerja.

Penyusuran Dimulai

Sungai Cibareno ini cukup lebar. Kurang lebih dengan lebar lima puluh meter. Di titik awal ini, hujan bertambah deras. Di sebelah kanan sungai ini, terlihat seperti tidak ada jalur yang bisa dilalui. Hanya terlihat tebing yang menghadang. Sedangkan di seberangnya, area persawahan dan ladang penduduk. Tidak bisa diseberangi. Arusnya terlalu deras dan sepertinya cukup dalam.

Menyusuri sungai

Tiga orang penduduk yang kami temui sedang mencari pasir mengatakan tidak ada jalan untuk menuju ke hilir. Jembatan ke seberang juga tidak ada. Beugh! Akhirnya, kuputuskan untuk berteduh dulu di sebuah saung pinggiran sawah. Aku berjalan sendiri ke arah tebing. Mengambil jalan memutar. Nah, ini sepertinya bisa dilalui. Terlihat jalan setapak di antara hutan-hutan kecil dan belukar.

Kemudian, kami pun beranjak memutuskan untuk melalui jalan memutar tersebut. Di depan, kami turun. Sungai terpecah menjadi dua oleh sebuah delta yang cukup besar. Kami menyeberangi sungai kecil menuju delta tersebut. Sedikit takut juga. Bisa kacau nih jika daypackku yang berisi kamera dan peralatannya ini kecebur sungai.

Jeram Pertama

Wauw...! Jeram di sisi tebing ini cukup lumayan. Dengan sebuah undercut pada batu besar yang memecah sungai. Beberapa saat kami menganalisa dan mendokumentasikannya.

Air mengalir sampai jauh

Perjalanan pun dilanjutkan menyusuri delta ini. Di akhir delta, kami pun ke tepi sungai lagi. Bertemu beberapa orang penduduk yang akan menyeberang. Mau ke ladang yang ada di seberang. Katanya, di akhir delta inilah sungai paling dangkal dan bisa diseberangi. Kami berbincang-bincang sebentar. Mereka senang bertemu kami. Katanya, orang kota mah pada aneh, mainnya malah ke hutan. Begitu kata mereka dalam bahasa sunda. Kami cuma tersenyum. Tak lupa juga mereka memberikan sekantong kacang tanah mentah hasil ladangnya. Untuk bekal kami di jalan, katanya sambil malu-malu ketika mereka kufoto.

Terima kasih Bu...

Dan ketika mereka kulihat menyeberang, alamak, tenggelamnya hampir sedada juga.

Jeram Kedua

Jeram kedua. Jeram Babi. Dinamakan seperti ini karena ditemukan oleh Blasius alias Si Babi. Nama yang jelek. Hahaha. Tapi, jeramnya juga lumayan.

Jeram Babi

Sementara itu, di depan, jeram-jeram kecil banyak terlihat. Sungai sepertinya menyempit dan cukup panjang. Suara gemuruh sungai tentu saja selalu terdengar.

Di peta, terlihat bahwa di depan ada sebuah kampung kecil. Rahong, begitu namanya. Kami pun berjalan lagi. Kali ini jalan setapaknya entah ke mana. Kami hanya menyeruak belukar dan mencari jalan di sela-sela pepohonan.

Jeram Rahong

Jeram Rahong

Mantap! Setelah melalui banyak jeram-jeram kecil, jeram rahong lah yang paling besar. Cukup untuk membalikkan perahu karet jika nanti akan diarungi. Bahkan kata penduduk yang tadi kita temui, mereka menyebutnya curug (air terjun). Tapi nggak terlihat seperti air terjun, walaupun jeramnya memang dasyat.

Rahong, Kampung yang Hilang

Di atas jeram tersebut, di antara belukar dan pepohonan, tak terlihat ada sebuah kampung seperti yang tergambar pada peta. Hanya ada reruntuhan rumah tua dan pondok yang sudah tidak terawat. Kuburan juga ada. Tapi nggak ada orang. Suasananya agak mistis nih jadinya.

Sebuah gubuk di Rahong

Katanya, dulu, sekitar enam tahun yang lalu, longsor melanda kampung ini. Akses keluar yang jauh serta longsor yang terjadi, memaksa penduduknya untuk pindah.

Perjalanan dan Istirahat

Setelah Jeram Rahong, jeram-jeram kecil masih terlihat. Hanya saja tak begitu kami analisa. Jalan yang kami ambil terlalu jauh memutar. Capek, haus, dan lapar mungkin menyebabkan semangat untuk melihat jeram-jeram berikutnya menurun. Dan sepertinya jeram-jeram berikutnya juga tidak begitu besar. Begitu perkiraanku, sesuai alur sungai yang tergambar pada peta.

Di sebuah saung, di area persawahan yang kami lewati, kami istirahat. Masak untuk makan siang. Diiringi lagu-lagu dari mp3 player yang mengalun merdu.

Dan yang menyebalkan, sendok yang kami bawa entah dipacking di mana. Semua peralatan dibongkar, nggak ketemu. Beugh! Nggak enak banget masak dan makan nggak ada sendok. Akhirnya, keterampilan untuk membuat kerajinan tangan seperti waktu SD pun dipraktikkan. Terutama Billy, yang paling bersemangat. Jadilah hasil karya terbaik kami, sendok-sendok khas tradisional.

Kerajinan tangan tradisional

Lanjut

Terlalu lama istirahat. Senja pun turun. Kami putuskan untuk terus berjalan menyusuri jalan setapak. Sepertinya memang akan menuju Bantar Kalapa, kampung di tepi jembatan dekat dengan muara sungai ini. Masih cukup jauh. Dan malam pun turun walaupun kami belum tiba di kampung tersebut.

Tiga bocah kampungan, jarang melihat sungai, beginilah gayanya

Jam delapan malam, barulah kami tiba. Pakaian yang kotor dan penuh lumpur, mengundang perhatian orang-orang kampung. Dengan senyum ramah kami sempat berbincang-bincang dan istirahat lagi di sebuah warung. Angkutan umum sudah tak ada yang melintas.

Menuju Pelabuhan Ratu

Sebenarnya, rencana kami malam ini bermalam di Citarata, sebuah teluk kecil dekat dengan muara Cibareno. Hanya saja karena sudah gelap, rencana tersebut kami urungkan. Selain itu sebuah truk yang mengangkut kayu lewat dan bersedia kami tumpangi sampai pelabuhan Ratu. Ya sudah, kami pun ke Pelabuhan Ratu lagi.

Lagi Lagi Citepus

Alamak, niat berhenti di tepi pantai yang sunyi, ternyata diturunkan oleh sopir truk di Citepus lagi. Kali ini malah lebih parah dari kemarin. Kami kecele. Nggak ada tempat ngecamp nih.

Kembang Cibareno, kembang untuk Sang Kekasih

Beberapa rumah dan kafe sederhana lengkap dengan irama dangdut berjajar. Membuat kami bertambah bingung. Wanita-wanita bertebaran terlihat duduk-duduk dan berdiri di remang-remang malam pantai. Beberapa menghampiri kami dan mengajak mampir dengan tatapan menggoda. Kami menolak sambil mengucapkan terima kasih.

Daripada bingung, kami berembuk untuk memutuskan bermalam di mana. Dua orang wanita menghampiri kami lagi. Kami yang kotor, kucel, dan bau ternyata masih disamperin juga. Mungkin karena tamu saat itu yang sedang sepi. Ulil menunjuk diriku kepada wanita-wanita itu. Don't worry, begitu kata mereka menggoda. Heh? Anjrid...!!! Aku hanya tersenyum menolak ajakan genit mereka.

Tapi, di balik kedipan mata mereka yang genit menggoda, sekilas terlihat ada kesedihan di sana. Menanti rezeki, dari kunjungan tamu yang begitu sepi. Entahlah, aku tak mengerti. Takdir memang sungguh misteri. Membawa kita pada jalan hidup yang berbeda.

Kususuri lagi pantai. Mencari tempat yang tidak menarik perhatian. Lebih jauh, ke pinggir. Di bawah pohon ketapang yang rindang, tenda pun kami pasang. Kami bermalam di sana. Menunggu pagi. Esok, kami akan pulang.

Lebak - Sukabumi, Februari 2008

Comments