Skip to main content

Posts

Showing posts from 2008

Bromo (Part 2 : Menapak Lautan Pasir)

Hanya Jeep dan Sejenisnya Pickup yang kutumpangi mulai menuruni punggungan Gunung Penanjakan ini. Jalanan begitu curam. Meliuk-liuk dan kondisi jalan yang tidak rata. Hanya Jeep dan Sejenisnya Beberapa saat kemudian lautan pasir sudah terhampar di depan. Di musim penghujan ini, kendaraan sejenis pickup bisa melewati daerah ini. Sedangkan jika musim kemarau, tak akan sanggup. Hanya kendaraan sejenis jeep yang mampu. Selain karena kepadatan pasir yang berkurang, juga karena peraturan daerah ini hanya memperbolehkan kendaraan jeep dari penduduk sekitar. Ini tentu untuk menambah pendapatan asli penduduk asli daerah ini. Berpisah dengan Pak Yanto Pak Yanto menurunkanku di sekitar areal pura sesuai permintaanku. Aku akan melanjutkan perjalananku dengan jalan kaki sampai Cemoro Lawang . Aku memberikannya uang pengganti bensin secukupnya. Dan tentu saja ucapan terima kasih karena telah diantar dan diterima dengan baik di rumahnya. Pak Yanto akan langsung kembali ke Wonokitri , pekerjaannya di

Bromo (Part 1 : Semalam di Wonokitri)

Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta / Jawa Kun a yang berarti Brahma (salah satu Dewa Utama Hindu), merupakan gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur . Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif. Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo , Pasuruan , Lumajang , dan Kabupaten Malang . Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara - selatan) dan ± 600 meter (timur - barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo . (Data taken from Wikipedia ) Bromo View from Pananjakan Berangkat dari Surabaya Di pagi yang beranjak siang, diantar oleh Bung Qyul, seorang kawan yang mana semalam ke

Rancaupas (Sedikit Kisah dari PDA 17)

Siang yang mendung, di atas bus jurusan Jakarta - Garut aku melaju. Sementara komunikasi dengan beberapa orang A di sekretariat sesekali berlangsung yang membuatku memutuskan kami bertemu di Rancaupas saja. Di Balik Pagar Rancaupas Hujan turun dengan lebatnya. Di atas angkutan umum Kopo menuju Soreang, dan dilanjutkan dengan bus tua menuju Ciwidey. Hujan yang bergerimis. Di tengah Pasar Ciwidey, kulangkahkan kaki untuk mencari makanan pengganjal perut. Dua orang A menghubungi bahwa mereka juga ada di pasar ini sedang berbelanja perbekalan. Tapi tak kutemui. Hanya saja kuputuskan untuk tidak membeli logistik lagi berdasarkan informasi dari mereka. Di sebuah pojokan warung di Rancaupas, satu persatu batang hidung A dari kota mulai bermunculan. Tiga orang juga rupanya sedang turun dari atas. Jauh-jauh, sama-sama dari Jakarta, bertemunya ternyata di Rancaupas. Ya sudah, setelah dipastikan tak ada lagi yang datang, kami pun beranjak. Menjelang senja, di dalam gerimis yang mulai bertambah le

The Motherland

Selepas burung besi pun menderu di atas Samudera Hindia. Menjejakkan roda-rodanya di landasan Ngurah Rai. Selepas melaju, merasakan suasana rumah kembali. Berbaur dengan aroma wewangian semerbak dupa dari canang-canang sari kala senja di Pulau Dewata. Seiring musik-musik magis penuh pesona. Kupandangkan mata. Menghirup dalam-dalam suasananya. Menyusuri jalan panjang pesisir pantai selatan ke arah timur pulau ini. Kota yang bersahabat. Yang membawa sejenak perasaan ke masa silam. Tempat dimulainya masa-masa terbaik yang pernah kumiliki. Di sepanjang jalan Flamboyan, Surapati, dan Gajah Mada. Sepertinya jalan-jalan yang kulalui terlihat mengecil dan sepi. Entah. Apakah aku yang terbiasa dengan keramaian dan kemacetan. Di beberapa tempat, wajah-wajah tak asing masih ada. Seperti di jajanan sore senggol jantung Kota ini. Entah dari mana rasa haru ini muncul. Di mana kamu kawan. Melihat secuil masa silam. Melihat realita tentang jalan hidup yang telah ditempuh masing-masing. Kita memang t

Kata Perjanjian

Dan pikiranku pun melayang. Kepada cerita delapan puluh tahun lalu. Ketika semangat dan rasa senasib yang sama. Ketika membara dan bercita-cita sama. Dari Sumatra, Jawa, Borneo, dan Celebes. Walaupun mungkin Aceh, Bali, dan Irian belum turut serta. Apalagi Timor Timur. Dan tanganku pun mulai membuka lembaran-lembaran sejarah tebal. Mencari tahu tentang apa yang terjadi puluhan tahun lalu. Ada kebanggaan. Tentang cerita penuh pesona waktu itu. Kalaupun ada sedikit silang pendapat dan perbedaan, tak menjadi aral yang melintang. Dan mereka kobarkan janji. Ikrarkan sumpah. Bahwa mereka, dan kita yang meneruskannya, bahwa kau dan aku, adalah satu. Dan telingaku pun mulai bermimpi. Mendengarkan sayup-sayup gesekan biola Wage Rudolf Supratman. Jelas mengalunkan syair-syair kebangsaan. Berkumandang. Bersama angin yang bertiup kencang. Sekencang semangat yang terpatri. Berkelana menyampaikan beritanya ke seluruh nusantara. Mereka kepalkan tangan. Bahwa kau dan aku adalah satu. Dan mataku pun te

Suatu Hari di Ciwalini

Dan kulangkahkan kakiku menyusuri hamparan teh yang menghijau, setelah melewati rumah-rumah sederhana dalam sebuah perkampungan kecil, Ciwalini. Suatu Hari di Ciwalini Nun jauh mata memandang ke utara, Cadas Panjang berdiri tegak. Masih lebat dengan hijaunya belantara. Walaupun sisi-sisi ladang di perbatasan hutannya di satu atau dua tempat sudah mulai menjamahnya. Ah, retorika yang memilukan. Ketika perladangan mendesak hutan dan merobohkan pohon-pohonnya. Saung pertama. Kuistirahatkan kakiku sejenak. Walaupun belum begitu jauh. Kuhirup dalam-dalam udaranya. Menikmatinya yang tentu berbeda dengan udara ibu kota. Rasanya tempat ini tidak begitu asing bagiku. Seperti di rumah saja. Dua tahun lalu, kuingat terakhir kali aku di sini. Menyusuri setapak yang sama. Membelah perkebunan teh. Menyeruak hutan menyusuri punggungan Cadas Panjang. Kubuka peta fotokopian bakosurtanal yang kubawa. Hanya untuk menyamakan persepsi dengan seorang berslayer merah yang ia dapatkan belum setahun. Itu Cadas

Menyusuri Dago Pakar - Maribaya

Bagi sebagian besar masyarakat Bandung, pasti tidak asing lagi mendengar tempat yang bernama Dago Pakar dan kawasan wisata Maribaya. Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Dago Pakar atau yang sebenarnya bernama Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda adalah sebuah kawasan hutan yang masih tersisa di kota Bandung. Terletak di daerah Bandung Utara, taman hutan raya ini merupakan taman hutan raya yang pertama di Indonesia. Diresmikan oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan tanggal kelahiran Ir. H. Djuanda. Sedangkan Maribaya adalah sebuah kawasan wisata terusan Dago Pakar di daerah Lembang yang menyajikan pesona air panas dan beberapa air terjun. Untuk mencapai Dago Pakar dari Bandung, bisa dimulai dari Terminal Dago. Yang kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki atau menyewa ojek sejauh kurang lebih 500 meter. Kawasan Dago Pakar sangat sejuk karena pohon-pohon yang besar dan rindang tumbuh. Begitu juga kolam ikan yang luas yang bisa kita jadikan tempat wisata sepeda air. Taman hutan raya in

Ketika Langit dan Bumi Bersatu

Sering kali aku berkata ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipanNya, bahwa rumahku hanya titipanNya, bahwa hartaku hanya titipanNya, bahwa putraku hanya titipanNya. Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali olehNya? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan

Es Durian Pak Aip (Ex. Kantin Sakinah)

Kantin Es Durian Pak Aip merupakan kios penjual es khas durian yang ada di Bandung. Dulu bernama Kantin Sakinah. Bagi penggemar makanan dan sering jalan-jalan di Bandung, pasti kenal dengan kantin ini. Terletak di Komplek Pertokoan Jalan Tubagus Ismail No. 5, Simpang Dago, Bandung. Berbagai menu es krim dengan durian ada di sini. Mulai dari es krim durian original sampai dengan berbagai macam olahan es dengan durian. Dengan harga sepuluh sampai dua belas ribuan rupiah. Coklat dan Original Selain es durian, makanan lain juga tersedia. Mulai dari berbagai macam minuman seperti es buah ataupun jus, sampai makanan ringan seperti mie, batagor, dan yang lain. Harganya juga relatif terjangkau, mulai tiga ribu sampai delapan ribu rupiah. Beberapa waktu lalu sempat mampir ke tempat ini ketika ke Bandung. Bersama Si Eneng, gara-gara sempat menonton acara televisi yang menayangkan tentang durian. Jadilah sore itu aku mengunjungi kantin ini. Dan beberapa biji durian pun menjadi pembuka makan di ma

Titip Rindu untuk Ibu

Kamis siang kemarin, tiba-tiba aku rindu. Aku sempat membaca salah satu majalah milik seorang kawan di Jakarta. Yang pelan-pelan kubaca di sela-sela lelah dan suntuknya pikiran melihat bisingnya kota. Katanya kita bukanlah cengeng jika dekat dengan ibu. Tapi, dekat yang berarti mencintai. Kita sudah dewasa, dan sepertinya cukup bijak untuk memahami. Teringat aku, atau kita. Yang tentunya jarang bersua padanya ketika sudah beranjak dewasa. Maka disarankanlah kita untuk menyempatkan menelepon setidaknya dua kali dalam sepekan kepada ibu. Cukup aneh. Mungkin membosankan. Bosan mendengar ocehan yang selalu mengingatkan kita untuk menjaga kesehatan. Ataulah kecerewetan yang hanya mengingatkan kita untuk makan. Atau hal-hal lain yang sekiranya tidak begitu penting. Tapi sebaiknya kulakukan, dan semoga kita lakukan. Dinikmati saja. Karena esok atau lusa, ketika ia telah tiada, kita akan merindukannya. Jakarta, Juli 2008

Family Gathering (Part 3 : Catatan Terakhir)

Malam Terakhir Kali ini tidak bersama keluarga lagi. Waktunya untuk teman-teman baru. Bersama Bagus, Dessy, dan Deta (nice to meet you guys). Berawal dari seputaran XLC Margorejo dan Kampus Untag, aku pun berkeliling lagi di Surabaya. Pantai Ria Kenjeran Tujuan pertama adalah Pantai Kenjeran. Yang katanya adalah tempat rekreasi yang menarik di Surabaya. Tapi, nggak begitu istimewa. Hanya sebagian besar terlihat sebagai tempat orang pacaran. Beugh. Beberapa jam kami habiskan di tempat ini. Duduk-duduk di pinggir pantai ditemani segelas nescafe dan sebatang djarum super, ditambah jagung bakar. Banyak terdapat kios makanan di sepanjang pantai ini. Mulai dari jajanan ringan sampai dengan makanan khas laut. Selain itu, di tempat ini terdapat arena pacuan kuda. Yang katanya pada hari-hari tertentu sering digunakan untuk perlombaan. Gang Dolly Malam bertambah larut. Tujuan berikutnya adalah Dolly. Tempat paling terkenal di Surabaya. Kawasan pelacuran yang konon katanya adalah kawasan terbesar

Family Gathering (Part 2 : Mojokerto dan Malang)

Hari kedua di Surabaya. Pagi-pagi kami sudah bersiap akan pergi. Kali ini pesertanya nambah satu. Mas Dwi. Orang Surabaya asli, driver kami yang walaupun rada pendiam, tapi sangat ramah. Tujuan pertama hari ini adalah ke Trowulan, Mojokerto. Menyusuri Jejak Majapahit Trowulan, Mojokerto , merupakan daerah Kerajaan Majapahit di masa lalu. Di daerah ini banyak terdapat peninggalan sejarah kerajaan ini. Situs-situs purbakala seperti candi, pendopo, dan makam pada zaman Majapahit bertebaran di daerah ini. Mulai dari zaman pemerintahan Raden Wijaya sampai zaman Wali Songo. Wisata ke tempat ini cukup menyenangkan walaupun hari menjelang siang dan panas. Tempat-tempatnya sih tidak begitu istimewa. Tapi kalau dari sisi sejarahnya, sangat mantap. Candi Bajang Ratu Candi ini yang pertama kukunjungi. Dengan tiket masuk 2500 per orang dan 3000 untuk satu mobil. Tempatnya cukup bersih dan rapi. Wisatawannya sedikit. Sepertinya hanya kami yang datang dari jauh. Beberapa orang yang ada di sana kemun

Family Gathering (Part 1 : Surabaya City Time)

Surabaya City Time Surabaya. Untuk pertama kalinya aku di kota ini lebih dari sehari. Biasanya hanya cuman lewat atau sekedar singgah waktu dulu sering pulang pergi Denpasar - Bandung. Kali ini, tiga harian. Numpang di sebuah asrama mahasiswa anak-anak Bali, tempat Si Kupir, adikku, tinggal. Menginjakkan kaki pertama kali di asrama ini, di malam yang sudah larut, sambutannya luar biasa. Three Musketeer ributnya minta ampun mengelu-elukan diriku. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Hari pertama. Tentu saja setengah hari dihabiskan di kampus ini. Secara aku ke Surabaya untuk menyaksikan wisuda Si Kupir. Sebagai tamu tak diundang, karena yang diundang hanya kedua orang tua. Jadilah aku nongkrong dan keliling-keliling di seputaran Graha ITS. Jadi orang nggak jelas sambil nungguin prosesi wisuda selesai. Kampus ini cukup besar. Capek juga klo keliling jalan kaki. Apalagi kalau panas. Beugh...!!! Selesai prosesi wisuda, mengiringi Si Kupir ama kedua ortu. Jadi tukang foto. Di Kampus ITS Ke

Nyanyian yang Kudengar

Kau petik gitar nyanyikan lagu Perlahan usap hatiku Terucap janjiku untukmu Tenggelam aku di tembangmu Tulikanlah kedua telingaku Butakanlah kedua bola mataku Agar tak kulihat dan kudengar Kedengkian yang mungkin benar Memang aku jatuh Dalam cengkeramanmu Sungguh aku minta Teruskanlah kau bernyanyi Kan kudengar itu pasti Teruskanlah kau bernyanyi Dan jangan lagumu terhenti Gelap turun dan malam datang bercerita. Dia sudah selesai berdandan. Mengusap hati atas janji yang terucap. Kemudian hanyut. Terbawa oleh alirannya. Sejenak aku takut. Walaupun aku percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Tak mengapa. Tak ada yang salah, begitu pikirku. Kita hanyalah satu dari ribuan cerita di dunia. Dan begitu kecil. Tapi begitu berarti. Dan akan kujalani dengan sepenuh hati. Walaupun episode di akhir cerita, tak pernah kutahu akan bagaimana. Hiruk pikuk di luar sana. Suara-suara yang memilikinya. Warna-warna yang dilukiskann

Cibareno, Antara Bayah dan Cisolok

Cibareno, antara Bayah dan Cisolok Jumat siang yang mendung. Aku, Billy, dan Blasius beranjak dari Terminal Kampung Rambutan menuju Cibadak. Di atas bus ekonomi jurusan Sukabumi yang menderu di sela-sela kemacetan. Cibadak, kota yang terletak antara Sukabumi, Bogor, dan Pelabuhan Ratu, menjadi tujuanku. Di Cibadak, kami menunggu bus cukup lama. Hujan turun cukup deras. Memaksa kami berteduh di emperan toko dengan berteman gorengan yang dibeli oleh Billy. Bocah-bocah kecil yang mencari-cari perhatian kami terlihat cukup ramah mengajak kami ngobrol. Menjelaskan berbagai trayek angkutan yang bisa membawa kami ke arah Pelabuhan Ratu. Selang kurang lebih sejam kemudian, bus MGI berAC pun kami naiki. Untunglah, pas tersisa tiga tempat duduk untuk kami. Tapi, kemudian di depan, seorang ibu-ibu naik lagi dengan berbagai barang dagangannya. Panci, dandang, ember, gayung, dan berbagai kardus serta barang lain pun masuk. Buset dah. Jadi nggak bisa bergerak begini. Ibu ini tega banget menjejalkan