Skip to main content

Posts

Kembali ke Piliana

Cuaca berubah cepat di Binaiya. Selepas siang, kabut berdatangan. Awan tebal kelabu bergulung-gulung. Mendung makin pekat. Ini seperti  hari-hari kemarin. Hujan selalu turun saban sore. Sepatu dan celana yang kotor ketika turun ke Aimoto. (Foto oleh Abdul Kholik) Pos 6 Waifuku Selepas tengah hari, setelah beristirahat cukup lama di bawah pohon jomblo, kami semua turun. Menyusuri lagi jalur pendakian ke arah sebaliknya. Yang tadi pagi telah kami lalui. Kembali ke Pos 4 Isiali. Ratusan meter di bawah pohon jomblo, ada dataran yang cukup luas. Membentang di antara bebatuan. Itu biasanya disebut Pos 6 Waifuku. Karena lokasinya berada tak jauh dari Puncak Waifuku. Saat perjalanan ke puncak sebelumnya, saya melihat ada satu rombongan pendaki. Mereka bermalam di Pos 6 Waifuku ini. Tenda-tendanya terpasang di bawah pepohonan rindang. Saat kami tiba lagi, mereka sudah tak ada. Sudah turun ke bawah. Menurut saya, Pos 6 Waifuku tempat yang nyaman untuk 'ngecamp'. Selain jaraknya yang tak
Recent posts

Pegunungan Sembilan

Bagi masyarakat di Pulau Seram, Gunung Binaiya lebih dikenal dengan sebutan Pegunungan Sembilan. Hal itu dikarenakan puncak yang berjumlah sembilan. Apa saja? Beberapa di antaranya saya ceritakan di tulisan ini. Pagi merekah di Binaiya. Tampak salah satu puncakan dari Pegunungan Sembilan. Dini Hari Pukul satu dini hari, saya sudah bangun. Udara dingin mendera. Ketinggian Isiali, yang melebihi 2000 meter di atas permukaan laut, membuat suhu lebih rendah dari malam sebelumnya. Saya harus bersiap. Rencana harus ditepati. Hari ini, adalah jadwal kami menuju Puncak Binaiya. Dengan perasaan berat, saya kembali mengenakan pakaian lapangan. Sepatu masih basah. Kaos kaki belum betul-betul kering dari hujan semalam. Kondisi baju dan celana lumayan, karena semalam saya jemur di atas api unggun. Dalam perjalanan mendaki gunung, saya selalu membawa dua set pakaian. Untuk memaksimalkan beban. Apalagi saya tak menggunakan porter pribadi. Pakaian set pertama adalah pakaian lapangan, yang dipakai saat

Dari Aimoto ke Isiali

Saya mendengar burung-burung berkicau menyambut pagi di sekitar Aimoto. Lalu merasakan sinar matahari menyusup, melalui celah-celah dinding selter yang saya tempati. Bangun dari tidur, saya teringat kisah semalam. Tentang mahluk-mahluk menyeramkan dan masih terngiang di telinga. Di luar, tajuk hutan seperti menyembunyikan kisah misteri yang sunyi. Perjalanan menuju Isiali. Kisah Pemburu Kepala Ketika zaman berubah, dan tahun berganti tahun, ada kisah tentang tradisi mengerikan di Pulau Seram. Tentang perburuan kepala manusia. Ritul keramat yang dijalankan oleh Suku Nuaulu, salah satu suku asli yang mendiami bagian selatan pulau ini. Saya mengingat itu karena cerita semalam. Tentang  kuyang  atau mahluk gaib  bersosok kepala tanpa badan. Adakah tradisi berburu kepala berkaitan dengan mahluk-mahluk gaib legenda Nusantara itu? Entahlah. Kuyang juga begitu dikenal di Kalimantan. Suku Dayak di sana juga memiliki tradisi yang sama. Suku Nuaulu memenggal kepala sebagai persembahan pada nenek